Rabu, 09 Oktober 2013

Karena jarak hanya sekedar angja jika kita sanggup memperjuangkan cinta kita.

Mencintaimu merupakan sebuah keputusan besar yang harus aku sanggupi. Mencintaimu berarti harus mencintai juga jarak yang ada diantara kita. Mencintai juga segala sikap dan segala halnya yang ada padamu. Ya, ini sudah jadi keputusanku.
Tulus. Aku mencintaimu dengan segala ketulusan. Aku menantimu dengan segala kesabaran. Aku merindukan mu dengan segala harap bertemu.
Jarak hanyalah sekedar angka jika memang kita yakin dan sanggup memperjuangkan cinta kita. Cinta aku kepadamu, dan kamu kepadaku.
Tidak ku sangkal, memang berbagai cobaan yang terjadi datang silih berganti.
Tapi disini aku tetap meyakinkan diriku untukmu.
Karena hadirmu sebuah anugrah Tuhan yang tak kalah ku sukuri dari anugrahNya yang telah memberikan ku kesempatan hidup dan memberikanku kedua orang tua yang sangat menyayangiku.
Ku tutup telingaku dari segala cibir tentangmu, tentang kita. Ku tutup matak. Ku tutup hatiku. Karena sekali lagi, telah ku tanamkan hati dan keyakinanku utuh kepadamu. Wahai calon jodohku kelak
Semoga Tuhan mendengar harap ku, harap kita.

Senin, 09 September 2013

Sepenggal Refleksi Jiwa Tentang Mencintai dari "Serial Cinta" Anis Matta.

Bagi ku kata 'cinta' adalah kata sakral dalam kehidupan. Kata yang tak pantas untuk dipermainkan atau bahkan diperolok-olokan. Karena bicara tentang cinta sama halnya bicara tentang kepribadian manusia.

Seperti yang dijelaskan di buku berjudul "Serial Cinta" karya Anis Matta. Cinta adalah kata lain dari memberi. Memberi apa saja yang diperlukan oleh orang-orang yang kita cintai untuk tumbuh menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.

Pencinta sejati hanya mengenal satu pekerjaan besar dalam hidupnya: memberi. Bukan mengobral janji.
Karena janji hanya menerbitkan harapan, sedangkan pemberian melahirkan kepercayaan.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam mengatakan "Aku mencintaimu." Karena mencintai adalah sebuah keputusan yang sangat besar. Kepada siapapun! Berhati-hatilah. Karena "Aku mencintaimu." adalah ungkapan lain dari, "Aku ingin memberimu sesuatu." Taruhannya adalah kepribadianmu.

"Aku mencintaimu." juga bisa berarti, "Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia. Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin. Aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu. Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu." Sekali lagi, hal ini taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita.

Sebuah kalimat yang sangat memerlukan pembuktian. Deklarasi jiwa yang tidak hanya tentang rasa suka dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan.

Tidak perlu dengan memutus urat malu atau melakukan hal-hal konyol diluar logika untuk membuktikannya. Cukup dengan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta tersebut dengan tulus dan murni. Maka cinta akan tetap sakral dalam kehidupan.

Kamis, 11 Juli 2013

Pertanyaan Senja

saat senja mulai menyapa
termangu sendiri dalam diamku di hadapnya
menyusup masuk dalam puing-puing reruntuhan perasaan
berjibaku dengan pedih dan lirih
tak jarang diriku menampik segala yang telah terjadi
mengapa harus aku?
mengapa harus kamu?
mengapa harus kita yang menjadi aktor dalam lakon Tuhan kali ini?

Tentang Hujan dan Segala Kenangannya

Entah sudah hujan yang keberapa dirinya hadir kembali dalam sela-sela ingatan dengan segala kenangannya. Aroma kopi rempah yang bercampur dengan asap rokok dan aroma tubuhmu itu tak luput hadir untuk sekedar membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang telah kucoba tidurkan akhir-akhir ini.

Dari sudut kamar, aku coba pejamkan mataku sejenak. Mencoba resapi tiap suara rintikan hujan yang begitu mesra. Berharap aku bisa mengetahui alasan tentang mengapa hujan selalu hadir bersama dengan kenangan-kenangan lama tentangnya.

Kini tidak ada lagi aroma kopi rempah, tak ada lagi kedai bernuansa jawa yang dulu pernah jadi tempatku dengannya berbagi cerita. Hanya tersisa puing-puing reruntuhan kedai yang berserakan. Semua hancur tapi tidak dengan kenangannya.
Temanku pernah berkata bahwa aku terlalu mendramatisir perkataanku, "hujan selalu berhasil membuat kenanganku terbangun kembali. Serpihan-serpihan tentangnya seperti mendadak kembali tersusun rapih dan apik dalam ingatan." tapi memang sungguh itu yang terjadi.

Hujan seperti memiliki kekuatan magis untuk membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur. Kenangan.

Begitulah Hujan

Begitulah hujan. selalu memiliki kekuatan magis
yang mampu menghadirkan kembali masa lalu

Begitulah hujan. memang paling jago
menggiring ingatan masuk ke masa lalu dan berakhir
dengan keluhan; rindu. Seperti mesin waktu.

Begitulah hujan. Aromanya terlalu dasyat untuk
membuat penikmatnya tenggelam dalam zona nyamanya
sekali lagi, zona kenangan.

Yah, begitulah hujan. Masih mengikat kuat diriku dan segala kenangan tentangnya.
Masih sangat kuat. Sekuat tatapan mata tipisnya.

Cirebon, 9 Juli 2013

Jumat, 10 Mei 2013

CERPEN: Kedai Jawa dan Kamu

"Hingga detik ini, aku masih menyukai bagaimana indahnya suasana hujan dimalam hari dengan ditemani alunan merdu gamelan. Ya, Hingga detik ini ternyata aku masih saja menyukai secangkir cokelat panas tanpa gula. Aku pun masih menyukai berada dimeja paling tengah kedai kopi ala jawa ini. Tidak hanya itu, mataku pun masih suka menikmati lukisan-lukisan cantik yang tertata agak sedikit kurang pas dengan ruangan yang tersedia.

Apakah tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis, meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.

Sekalipun dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini. Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.

Ada kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini, tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai, bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.

Banyak. Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu. Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat romantis darimu.

Kehilangan? Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Tidak ada.

Kau masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa membohongi perasaanku.

Membohongi bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku, bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.

Jika handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau kita.

Kembali ke kedai jawa dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini kembali. Sesak.

Bahagia dirimu dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan dia, calon imam masa depanku, semoga."

Sandria menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan segala kenangannya.


Rabu, 09 Oktober 2013

Karena jarak hanya sekedar angja jika kita sanggup memperjuangkan cinta kita.

Mencintaimu merupakan sebuah keputusan besar yang harus aku sanggupi. Mencintaimu berarti harus mencintai juga jarak yang ada diantara kita. Mencintai juga segala sikap dan segala halnya yang ada padamu. Ya, ini sudah jadi keputusanku.
Tulus. Aku mencintaimu dengan segala ketulusan. Aku menantimu dengan segala kesabaran. Aku merindukan mu dengan segala harap bertemu.
Jarak hanyalah sekedar angka jika memang kita yakin dan sanggup memperjuangkan cinta kita. Cinta aku kepadamu, dan kamu kepadaku.
Tidak ku sangkal, memang berbagai cobaan yang terjadi datang silih berganti.
Tapi disini aku tetap meyakinkan diriku untukmu.
Karena hadirmu sebuah anugrah Tuhan yang tak kalah ku sukuri dari anugrahNya yang telah memberikan ku kesempatan hidup dan memberikanku kedua orang tua yang sangat menyayangiku.
Ku tutup telingaku dari segala cibir tentangmu, tentang kita. Ku tutup matak. Ku tutup hatiku. Karena sekali lagi, telah ku tanamkan hati dan keyakinanku utuh kepadamu. Wahai calon jodohku kelak
Semoga Tuhan mendengar harap ku, harap kita.

Senin, 09 September 2013

Sepenggal Refleksi Jiwa Tentang Mencintai dari "Serial Cinta" Anis Matta.

Bagi ku kata 'cinta' adalah kata sakral dalam kehidupan. Kata yang tak pantas untuk dipermainkan atau bahkan diperolok-olokan. Karena bicara tentang cinta sama halnya bicara tentang kepribadian manusia.

Seperti yang dijelaskan di buku berjudul "Serial Cinta" karya Anis Matta. Cinta adalah kata lain dari memberi. Memberi apa saja yang diperlukan oleh orang-orang yang kita cintai untuk tumbuh menjadi lebih baik dan berbahagia karenanya.

Pencinta sejati hanya mengenal satu pekerjaan besar dalam hidupnya: memberi. Bukan mengobral janji.
Karena janji hanya menerbitkan harapan, sedangkan pemberian melahirkan kepercayaan.

Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam mengatakan "Aku mencintaimu." Karena mencintai adalah sebuah keputusan yang sangat besar. Kepada siapapun! Berhati-hatilah. Karena "Aku mencintaimu." adalah ungkapan lain dari, "Aku ingin memberimu sesuatu." Taruhannya adalah kepribadianmu.

"Aku mencintaimu." juga bisa berarti, "Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia. Aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin. Aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu. Aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu." Sekali lagi, hal ini taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita.

Sebuah kalimat yang sangat memerlukan pembuktian. Deklarasi jiwa yang tidak hanya tentang rasa suka dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan.

Tidak perlu dengan memutus urat malu atau melakukan hal-hal konyol diluar logika untuk membuktikannya. Cukup dengan mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta tersebut dengan tulus dan murni. Maka cinta akan tetap sakral dalam kehidupan.

Kamis, 11 Juli 2013

Pertanyaan Senja

saat senja mulai menyapa
termangu sendiri dalam diamku di hadapnya
menyusup masuk dalam puing-puing reruntuhan perasaan
berjibaku dengan pedih dan lirih
tak jarang diriku menampik segala yang telah terjadi
mengapa harus aku?
mengapa harus kamu?
mengapa harus kita yang menjadi aktor dalam lakon Tuhan kali ini?

Tentang Hujan dan Segala Kenangannya

Entah sudah hujan yang keberapa dirinya hadir kembali dalam sela-sela ingatan dengan segala kenangannya. Aroma kopi rempah yang bercampur dengan asap rokok dan aroma tubuhmu itu tak luput hadir untuk sekedar membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang telah kucoba tidurkan akhir-akhir ini.

Dari sudut kamar, aku coba pejamkan mataku sejenak. Mencoba resapi tiap suara rintikan hujan yang begitu mesra. Berharap aku bisa mengetahui alasan tentang mengapa hujan selalu hadir bersama dengan kenangan-kenangan lama tentangnya.

Kini tidak ada lagi aroma kopi rempah, tak ada lagi kedai bernuansa jawa yang dulu pernah jadi tempatku dengannya berbagi cerita. Hanya tersisa puing-puing reruntuhan kedai yang berserakan. Semua hancur tapi tidak dengan kenangannya.
Temanku pernah berkata bahwa aku terlalu mendramatisir perkataanku, "hujan selalu berhasil membuat kenanganku terbangun kembali. Serpihan-serpihan tentangnya seperti mendadak kembali tersusun rapih dan apik dalam ingatan." tapi memang sungguh itu yang terjadi.

Hujan seperti memiliki kekuatan magis untuk membangunkan sesuatu yang telah lama tertidur. Kenangan.

Begitulah Hujan

Begitulah hujan. selalu memiliki kekuatan magis
yang mampu menghadirkan kembali masa lalu

Begitulah hujan. memang paling jago
menggiring ingatan masuk ke masa lalu dan berakhir
dengan keluhan; rindu. Seperti mesin waktu.

Begitulah hujan. Aromanya terlalu dasyat untuk
membuat penikmatnya tenggelam dalam zona nyamanya
sekali lagi, zona kenangan.

Yah, begitulah hujan. Masih mengikat kuat diriku dan segala kenangan tentangnya.
Masih sangat kuat. Sekuat tatapan mata tipisnya.

Cirebon, 9 Juli 2013

Jumat, 10 Mei 2013

CERPEN: Kedai Jawa dan Kamu

"Hingga detik ini, aku masih menyukai bagaimana indahnya suasana hujan dimalam hari dengan ditemani alunan merdu gamelan. Ya, Hingga detik ini ternyata aku masih saja menyukai secangkir cokelat panas tanpa gula. Aku pun masih menyukai berada dimeja paling tengah kedai kopi ala jawa ini. Tidak hanya itu, mataku pun masih suka menikmati lukisan-lukisan cantik yang tertata agak sedikit kurang pas dengan ruangan yang tersedia.

Apakah tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis, meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.

Sekalipun dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini. Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.

Ada kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini, tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai, bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.

Banyak. Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu. Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat romantis darimu.

Kehilangan? Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Tidak ada.

Kau masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa membohongi perasaanku.

Membohongi bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku, bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.

Jika handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau kita.

Kembali ke kedai jawa dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini kembali. Sesak.

Bahagia dirimu dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan dia, calon imam masa depanku, semoga."

Sandria menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan segala kenangannya.