Minggu, 14 Oktober 2012

Room in Action :)

 
First Shoot

2nd Shoot


Dia "Sang Maha Tahu"


Dia tahu tentang apa yang aku risaukan
Dia tahu tentang apa yang aku takutkan
Dia tahu tetang apa yang aku pikirkan
Dia juga tahu tentang jawaban dari segala keabu-abuan
Dia tahu tentang jawaban dari segala bentuk kesamaran
Dia tahu pasti tentang segala keraguan
Dia juga tahu pasti tentang segala kerahasiaan
Dia selalu tahu apa yang aku bahkan kamu tidak tahu
Bahkan tak ada sepersekian detik
Dia tahu tentang apa yang aku atau kamu kubur dalam benak
Dia selalu tahu apa yang aku bahkan kamu tidak tahu
Dialah sang Maha Tahu.

Cirebon,
October 3, 2012

Harta, Tahta, dan Cinta


Cinta bukan tentang berapa banyak harta yang dipunya
Bukan tentang titel apa yang disandang
Dan juga bukan tentang jabatan apa yang diduduki
Melainkan cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi
Seperti definisi yang dijabarkan om wiki
Cinta adalah sebuah emosi 2 jiwa yang didalamnya ada saling rasa kertarikan satu sama lainnya
Cinta menimbulkan rasa ingin saling menjaga dan melindungi
Cinta juga bisa menerima apapun dan gimanapun si pemiliknya
Cinta seperti mati
Harta dan tahta tak akan selamanya abadi



Cirebon,
September 27, 2012

Sabtu, 13 Oktober 2012

Goresan angan di Sabtu Malam

Bisa menjadi tempatnya bersandar kala lelah mulai menghampirinya,
Melepas segala keluh dan kesahnya
Selalu bisa mengusap setiap butiran peluh
yang bergulir merembes dari setiap pori tubuhnya
Menenangkan dirinya dengan dekapan hangat penuh cinta
Dan mengecup mesra keningnya setiap saat,
Rasanya ingin sekali aku lakukan itu semua.
Sedikit berlebihan kah?
Ah, biar sajalah!
Rasa inilah yang acap kali muncul saat rindu mulai mengetuk dan menusuk di benakku
Angan inilah yang selalu mengisi rongga -rongga pikiranku
menari dan mengusik diriku setiap malam menjelma
Saat menyaksikan betapa lelah dirinya
yang selalu ia kabarkan melalui alam fiksinya
Membuatku ingin segara menjerat dirinya dengan kehangatan dekapan
Mungkin aku bisa lakukan benar semua itu,
saat kelak dirinya dan aku di persatukan dalam satu ikatan halal.
Tuhanku, Engkaulah Maha Penyayang.
Semoga ini tak hanya jadi sekedar tulisan dan goresan anganku di sabtu malam.



13 Oktober 2012

Sabtu, 06 Oktober 2012

Hanun dan Cermin di Dinding

            Wanita paruh baya itu melihat Hanun, gadis semata wayangnya yang sedari tadi berdiri kaku di hadapan cermin yang menggantung santai di dinding. Hanun seolah sedang berinteraksi dengan cermin tersebut. Tatapan matanya tajam, raut mukanya memperlihatkan ketegangan. Dia sangat prihatin dengan apa yang sedang terjadi dengan gadisnya.
            "Inikah diriku?" tanya Hanun pada cermin yang terlihat agak sedikit kusam dengan  bercak coklat di pinggir kiri bagian bawahnya.
            "Atau kau mengelabui bayanganku? Kau memanipulasinya?" tanyanya lagi kali ini dengan nada agak sedikit geram, sorot matanya bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya.
            "Cermin sialan! Kenapa kau menampakan bayangan yang bukan diriku dihadapanku! Beraninya!" ucapnya semakin geram.
            Dia seolah dibuat frustasi dengan bayangan yang ada di hadapannya itu. Dia tak yakin dengan sosok bayangan yang ada di dalam cermin tersebut. Dirinya kah?
            "Tak mungkin aku, bukan? Lihat! Wajahnya layu, sorot matanya sayu. Tak ada sedikit semangat yang terpancar dari wajahnya. Muram. Sendu. Itu pasti bukan diriku kan, cermin!?" Hanun kembali bertanya untuk kesekian kalinya, kali ini dengan nada yang berapi-api, dan agak sedikit jijik.
            "Tak ada gunanya aku bertanya! Cermin sialan! Lancang sekali memperlihatkan bayangan lain selain diriku!" Lirih Hanun. Dia menyerah untuk bertanya. Kepalanya tertunduk dan pikirannya tenggelam dalam risau dan kembali hanyut dalam kesedihannya. Seketika...
            "Aku tidak memanipulasinya. Aku tidak mengelabuimu. Tataplah aku sekali lagi dan lihat! Bayangan sendu, layu, dan sayu itu memang dirimu! Dirimu, Hanun. Lihatlah dengan seksama. Kau tak bergairah. Kau bagaikan bunga yang terlalu lama diterpa terik mentari, layu dan hampir mati. Menyedihkan. Rambutmu lusuh dan kusam, kulitmu mengerikan. Tak menarik sama sekali, bahkan mungkin kau menjijikan ntuk sekedar dilihat," jawab sang cermin
            "Kau menipuku! Bayangan itu bukan diriku!" bantahnya.
            "Aku tak pernah menipu siapapun yang berdiri dihadapanku. Kau yang terlalu angkuh untuk mengakui betapa terpuruknya dirimu sekarang. Tak inginkah kau bangkit? Dan kembali ke sosok dirimu seperti dahulu? Kini kau benar benar sangat terlihat menyedihkan, Hanun,"
            Benar. Setahun sudah Hanun membiarkan dirinya jatuh dalam keterpurukan. Setelah dia harus dihadapi dengan kenyataan tentang calon pendamping hidupnya telah pergi jauh meninggalkannya. Jauh dan tak kembali.
            Sore itu, gadis semata wayangnya sedang menanti Bagas datang untuk membawakanya buket mawar merah favoritenya dan sepasang cincin platina yang berukir nama keduanya yang rencananya akan mereka kenakan di jari manis mereka saat pernikahan. Namun naas, sore itu hujan, dan jalanan sangat licin. Tiba-tiba Bagas dikejutkan dengan sosok anak kecil yang berlari menyebrangi jalan yang dia lalui, lelaki itu membanting setir mencoba menghindar. Namun sial, dia tak mampu mengendalikan laju mobilnya yang saat itu melaju dengan kecepatan 100km/jam, mobilnya oleng hingga akhirnya menabrak pembatas jalan dan membuat dirinya terpental dan terguling bersama dengan mobil yang dia kendarai saat itu. Hancur lebur. Dan nyawanya hilang seketika di tempat kejadian.
            Di teras rumahnya, Hanun masih setia menanti. Hingga senja telah berpulang berganti petang, namun Bagas, lelaki yang dinantinya tak kunjung datang. Hanun berkali-kali mencoba menghubunginya, namun berkali kali juga selalu tersambung dengan suara ramah dari operator yang memintanya kembali menghubungi nomer tersebut beberapa saat lagi. Rasa cemas terus menari-nari dalam benaknya. Dia mencoba menghubungi kediaman Bagas namun asisten rumah tangga keluarga lelakinya itu bilang Bagas belum pulang sejak sore tadi. Namun selang waktu yang tak lama, akhirnya kehawatirannya terjawab sudah dengan informasi yang diberikan calon mertuanya tentang keberadaan dan keadaan Bagas saat ini. Hanun seolah tak percaya dengan kabar yang baru saja diterimanya. Hanun berteriak memecah keheningan malam, tangisnya menggelegar dan mengoyak petang.
             Dengan tergopoh wanita paruh baya itu berlari menuju Hanun yang meracau tak menentu saat itu, dia bertanya namun tak ada jawaban darinya. Wanita itu melihat layar handphone anaknya yang masih tersambung dengan sang calon mertua. Dia segera mengambil alih dari genggaman gadisnya dan terjawab sudah akhirya tentang apa yang membuat gadisnya histeris sepert ini. Wanita paruh baya itu memeluk tubuh mungil Hanun erat mencoba menenangkan dan meredakan tangisannya.
            Esok hari seharusnya menjadi hari yang penuh diselimuti kebahagiaan. Pasalnya, hari itu adalah hari dimana Hanun harus duduk di samping Bagas yang akan mengucapkan Ijab Qabul dan memasangkan cincin platina yang berukir nama keduanya di jari manisnya di depan khalayak. Dan hari itu, Hanun dan Bagas sah menjadi suami-isteri. Namun kabut dukalah yang menaungi hari itu. Isak tangis dan serangkaian doa menggema di pemakaman umum dimana Bagas di kebumikan. Tangis gadis itu semakin tumpah ruah kala jasad Bagas saat itu memasuki tempat peristirahatan terakhirnya. Dia tak mampu membendung kesedihan dan kesakitan yang sangat mendera dirinya. Tubuhnya lemah dan terjatuh.
            Semenjak saat itulah Hanun membiarkan dirinya terpuruk dan terus terpuruk hingga terjadi perdebatan sengit antara dirinya dengan cermin yang menggantung  di dinding kamarnya. Wanita paruh baya yang sedari tadi terus memandang sedih Hanun tak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengeluarkan gadisnya dalam keterpurukan. Berbagai upaya telah dilalui namun selalu nihil.
            “Kau tahu, betapa menyedihkan dan menjijikannya dirimu saat ini? Tataplah aku, lihatlah bayangan yang ada didalamnya. Bayangan layu dirimu yang semakin terpuruk dalam kesedihan dan seolah enggan berusaha untuk bebas darinya. Itu dirimu, itu adalah bayangan dirimu yang menyedihkan” saut sang cermin.
            Hanun kembali menundukan kepalanya beberapa saat kemudian kembali menatap cermin yang ada dihadapannya.
            “Benarkah itu? Benarkah ini diriku yang menyedihkan? Layu, sayu, tak bergairah, tak menarik. Benarkah? Bukan! Ini bukan diriku! Bukan diriku! Cermin sialan!” teriak Hanun sambil melemparkan bantal kearah cermin tersebut bertubi-tubi.
            “Bangkitlah. Tataplah masa depanmu. Kembaliah menjadi gadis seperti dulu. Kau gadis cantik, penuh pesona dan mempunyai gairah asa yang tinggi. Sedangkan lihat dirimu yang sekarang? Jika kau terus seperti ini, diapun tak akan pernah tenang disana. Bangkitlah!”
            Teriakannya pecah, air matanya merembes deras membasahi pipinya yang kian hari semakin tirus. Wanita paruh baya yang sedari tadi menatapnya dari pintu segera berlari kearahnya dan memeluk erat tubuh mungil gadisnya. Tersirat raut kepanikan dari wajah wanita paruh baya itu. Dia terus memeluknya erat dan membelai rambut kusam Hanun berusaha agar tangisnya reda.
            “Maafkan aku, maafkan aku, Ibu. Maafkan aku. Dia pasti tak tenang disana karena diriku yang terus menerus terpuruk. Bantu aku, Bu. Bantu aku beranjak dari kesedihan ini dan menapaki masa depan ku. Aku ingin kembali menjadi diriku seperti dulu, bu. Aku tak ingin membuatnya khawatir dengan diriku disana. Aku ingin dia tenang disana, Bu. Bantu aku.” Rintih Hanun dalam pelukan Ibunya. Senyum mengembang dari kedua sudut bibir wanita paruh baya ini dia merasa sangat lega dan bahagia bahwa akhirnya gadis semata wayangnya ingin terlepas dari keterpurukan dan bangkit dari semua ini. Dalam hatinya tak henti-hentinya ia mengucapkan rasa syukur. Keduanya semakin mengeeratkan pelukan dan hanyut dalam suasana haru yang saat itu menyelimuti keinginan Hanun yang ingin terlepas dari belenggu keterpurukannya.

Selasa, 02 Oktober 2012

Gejolak Rindu



Kau tahu? Bara api rindu ini semakin berapi-api

Membuat diriku mandi berbasuh peluh kerinduan

Detik waktu menjadi bahan bakar yang semakin membuat rindu ini bergejolak

Aku menanti kau datang dan segera memadamkan api rindu yang telah lama menjilati kalbuku

Aku menanti dirimu untuk segera mengeringkan peluh rindu ini di benakku

Sayang, cepatlah datang dan jemputlah aku kedalam dekapan hangatmu

Dan menyurutkan rindu yang hampir menjalar membakar jantungku




Cirebon,

September 27, 2012

Minggu, 14 Oktober 2012

Room in Action :)

 
First Shoot

2nd Shoot


Dia "Sang Maha Tahu"


Dia tahu tentang apa yang aku risaukan
Dia tahu tentang apa yang aku takutkan
Dia tahu tetang apa yang aku pikirkan
Dia juga tahu tentang jawaban dari segala keabu-abuan
Dia tahu tentang jawaban dari segala bentuk kesamaran
Dia tahu pasti tentang segala keraguan
Dia juga tahu pasti tentang segala kerahasiaan
Dia selalu tahu apa yang aku bahkan kamu tidak tahu
Bahkan tak ada sepersekian detik
Dia tahu tentang apa yang aku atau kamu kubur dalam benak
Dia selalu tahu apa yang aku bahkan kamu tidak tahu
Dialah sang Maha Tahu.

Cirebon,
October 3, 2012

Harta, Tahta, dan Cinta


Cinta bukan tentang berapa banyak harta yang dipunya
Bukan tentang titel apa yang disandang
Dan juga bukan tentang jabatan apa yang diduduki
Melainkan cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi
Seperti definisi yang dijabarkan om wiki
Cinta adalah sebuah emosi 2 jiwa yang didalamnya ada saling rasa kertarikan satu sama lainnya
Cinta menimbulkan rasa ingin saling menjaga dan melindungi
Cinta juga bisa menerima apapun dan gimanapun si pemiliknya
Cinta seperti mati
Harta dan tahta tak akan selamanya abadi



Cirebon,
September 27, 2012

Sabtu, 13 Oktober 2012

Goresan angan di Sabtu Malam

Bisa menjadi tempatnya bersandar kala lelah mulai menghampirinya,
Melepas segala keluh dan kesahnya
Selalu bisa mengusap setiap butiran peluh
yang bergulir merembes dari setiap pori tubuhnya
Menenangkan dirinya dengan dekapan hangat penuh cinta
Dan mengecup mesra keningnya setiap saat,
Rasanya ingin sekali aku lakukan itu semua.
Sedikit berlebihan kah?
Ah, biar sajalah!
Rasa inilah yang acap kali muncul saat rindu mulai mengetuk dan menusuk di benakku
Angan inilah yang selalu mengisi rongga -rongga pikiranku
menari dan mengusik diriku setiap malam menjelma
Saat menyaksikan betapa lelah dirinya
yang selalu ia kabarkan melalui alam fiksinya
Membuatku ingin segara menjerat dirinya dengan kehangatan dekapan
Mungkin aku bisa lakukan benar semua itu,
saat kelak dirinya dan aku di persatukan dalam satu ikatan halal.
Tuhanku, Engkaulah Maha Penyayang.
Semoga ini tak hanya jadi sekedar tulisan dan goresan anganku di sabtu malam.



13 Oktober 2012

Sabtu, 06 Oktober 2012

Hanun dan Cermin di Dinding

            Wanita paruh baya itu melihat Hanun, gadis semata wayangnya yang sedari tadi berdiri kaku di hadapan cermin yang menggantung santai di dinding. Hanun seolah sedang berinteraksi dengan cermin tersebut. Tatapan matanya tajam, raut mukanya memperlihatkan ketegangan. Dia sangat prihatin dengan apa yang sedang terjadi dengan gadisnya.
            "Inikah diriku?" tanya Hanun pada cermin yang terlihat agak sedikit kusam dengan  bercak coklat di pinggir kiri bagian bawahnya.
            "Atau kau mengelabui bayanganku? Kau memanipulasinya?" tanyanya lagi kali ini dengan nada agak sedikit geram, sorot matanya bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya.
            "Cermin sialan! Kenapa kau menampakan bayangan yang bukan diriku dihadapanku! Beraninya!" ucapnya semakin geram.
            Dia seolah dibuat frustasi dengan bayangan yang ada di hadapannya itu. Dia tak yakin dengan sosok bayangan yang ada di dalam cermin tersebut. Dirinya kah?
            "Tak mungkin aku, bukan? Lihat! Wajahnya layu, sorot matanya sayu. Tak ada sedikit semangat yang terpancar dari wajahnya. Muram. Sendu. Itu pasti bukan diriku kan, cermin!?" Hanun kembali bertanya untuk kesekian kalinya, kali ini dengan nada yang berapi-api, dan agak sedikit jijik.
            "Tak ada gunanya aku bertanya! Cermin sialan! Lancang sekali memperlihatkan bayangan lain selain diriku!" Lirih Hanun. Dia menyerah untuk bertanya. Kepalanya tertunduk dan pikirannya tenggelam dalam risau dan kembali hanyut dalam kesedihannya. Seketika...
            "Aku tidak memanipulasinya. Aku tidak mengelabuimu. Tataplah aku sekali lagi dan lihat! Bayangan sendu, layu, dan sayu itu memang dirimu! Dirimu, Hanun. Lihatlah dengan seksama. Kau tak bergairah. Kau bagaikan bunga yang terlalu lama diterpa terik mentari, layu dan hampir mati. Menyedihkan. Rambutmu lusuh dan kusam, kulitmu mengerikan. Tak menarik sama sekali, bahkan mungkin kau menjijikan ntuk sekedar dilihat," jawab sang cermin
            "Kau menipuku! Bayangan itu bukan diriku!" bantahnya.
            "Aku tak pernah menipu siapapun yang berdiri dihadapanku. Kau yang terlalu angkuh untuk mengakui betapa terpuruknya dirimu sekarang. Tak inginkah kau bangkit? Dan kembali ke sosok dirimu seperti dahulu? Kini kau benar benar sangat terlihat menyedihkan, Hanun,"
            Benar. Setahun sudah Hanun membiarkan dirinya jatuh dalam keterpurukan. Setelah dia harus dihadapi dengan kenyataan tentang calon pendamping hidupnya telah pergi jauh meninggalkannya. Jauh dan tak kembali.
            Sore itu, gadis semata wayangnya sedang menanti Bagas datang untuk membawakanya buket mawar merah favoritenya dan sepasang cincin platina yang berukir nama keduanya yang rencananya akan mereka kenakan di jari manis mereka saat pernikahan. Namun naas, sore itu hujan, dan jalanan sangat licin. Tiba-tiba Bagas dikejutkan dengan sosok anak kecil yang berlari menyebrangi jalan yang dia lalui, lelaki itu membanting setir mencoba menghindar. Namun sial, dia tak mampu mengendalikan laju mobilnya yang saat itu melaju dengan kecepatan 100km/jam, mobilnya oleng hingga akhirnya menabrak pembatas jalan dan membuat dirinya terpental dan terguling bersama dengan mobil yang dia kendarai saat itu. Hancur lebur. Dan nyawanya hilang seketika di tempat kejadian.
            Di teras rumahnya, Hanun masih setia menanti. Hingga senja telah berpulang berganti petang, namun Bagas, lelaki yang dinantinya tak kunjung datang. Hanun berkali-kali mencoba menghubunginya, namun berkali kali juga selalu tersambung dengan suara ramah dari operator yang memintanya kembali menghubungi nomer tersebut beberapa saat lagi. Rasa cemas terus menari-nari dalam benaknya. Dia mencoba menghubungi kediaman Bagas namun asisten rumah tangga keluarga lelakinya itu bilang Bagas belum pulang sejak sore tadi. Namun selang waktu yang tak lama, akhirnya kehawatirannya terjawab sudah dengan informasi yang diberikan calon mertuanya tentang keberadaan dan keadaan Bagas saat ini. Hanun seolah tak percaya dengan kabar yang baru saja diterimanya. Hanun berteriak memecah keheningan malam, tangisnya menggelegar dan mengoyak petang.
             Dengan tergopoh wanita paruh baya itu berlari menuju Hanun yang meracau tak menentu saat itu, dia bertanya namun tak ada jawaban darinya. Wanita itu melihat layar handphone anaknya yang masih tersambung dengan sang calon mertua. Dia segera mengambil alih dari genggaman gadisnya dan terjawab sudah akhirya tentang apa yang membuat gadisnya histeris sepert ini. Wanita paruh baya itu memeluk tubuh mungil Hanun erat mencoba menenangkan dan meredakan tangisannya.
            Esok hari seharusnya menjadi hari yang penuh diselimuti kebahagiaan. Pasalnya, hari itu adalah hari dimana Hanun harus duduk di samping Bagas yang akan mengucapkan Ijab Qabul dan memasangkan cincin platina yang berukir nama keduanya di jari manisnya di depan khalayak. Dan hari itu, Hanun dan Bagas sah menjadi suami-isteri. Namun kabut dukalah yang menaungi hari itu. Isak tangis dan serangkaian doa menggema di pemakaman umum dimana Bagas di kebumikan. Tangis gadis itu semakin tumpah ruah kala jasad Bagas saat itu memasuki tempat peristirahatan terakhirnya. Dia tak mampu membendung kesedihan dan kesakitan yang sangat mendera dirinya. Tubuhnya lemah dan terjatuh.
            Semenjak saat itulah Hanun membiarkan dirinya terpuruk dan terus terpuruk hingga terjadi perdebatan sengit antara dirinya dengan cermin yang menggantung  di dinding kamarnya. Wanita paruh baya yang sedari tadi terus memandang sedih Hanun tak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengeluarkan gadisnya dalam keterpurukan. Berbagai upaya telah dilalui namun selalu nihil.
            “Kau tahu, betapa menyedihkan dan menjijikannya dirimu saat ini? Tataplah aku, lihatlah bayangan yang ada didalamnya. Bayangan layu dirimu yang semakin terpuruk dalam kesedihan dan seolah enggan berusaha untuk bebas darinya. Itu dirimu, itu adalah bayangan dirimu yang menyedihkan” saut sang cermin.
            Hanun kembali menundukan kepalanya beberapa saat kemudian kembali menatap cermin yang ada dihadapannya.
            “Benarkah itu? Benarkah ini diriku yang menyedihkan? Layu, sayu, tak bergairah, tak menarik. Benarkah? Bukan! Ini bukan diriku! Bukan diriku! Cermin sialan!” teriak Hanun sambil melemparkan bantal kearah cermin tersebut bertubi-tubi.
            “Bangkitlah. Tataplah masa depanmu. Kembaliah menjadi gadis seperti dulu. Kau gadis cantik, penuh pesona dan mempunyai gairah asa yang tinggi. Sedangkan lihat dirimu yang sekarang? Jika kau terus seperti ini, diapun tak akan pernah tenang disana. Bangkitlah!”
            Teriakannya pecah, air matanya merembes deras membasahi pipinya yang kian hari semakin tirus. Wanita paruh baya yang sedari tadi menatapnya dari pintu segera berlari kearahnya dan memeluk erat tubuh mungil gadisnya. Tersirat raut kepanikan dari wajah wanita paruh baya itu. Dia terus memeluknya erat dan membelai rambut kusam Hanun berusaha agar tangisnya reda.
            “Maafkan aku, maafkan aku, Ibu. Maafkan aku. Dia pasti tak tenang disana karena diriku yang terus menerus terpuruk. Bantu aku, Bu. Bantu aku beranjak dari kesedihan ini dan menapaki masa depan ku. Aku ingin kembali menjadi diriku seperti dulu, bu. Aku tak ingin membuatnya khawatir dengan diriku disana. Aku ingin dia tenang disana, Bu. Bantu aku.” Rintih Hanun dalam pelukan Ibunya. Senyum mengembang dari kedua sudut bibir wanita paruh baya ini dia merasa sangat lega dan bahagia bahwa akhirnya gadis semata wayangnya ingin terlepas dari keterpurukan dan bangkit dari semua ini. Dalam hatinya tak henti-hentinya ia mengucapkan rasa syukur. Keduanya semakin mengeeratkan pelukan dan hanyut dalam suasana haru yang saat itu menyelimuti keinginan Hanun yang ingin terlepas dari belenggu keterpurukannya.

Selasa, 02 Oktober 2012

Gejolak Rindu



Kau tahu? Bara api rindu ini semakin berapi-api

Membuat diriku mandi berbasuh peluh kerinduan

Detik waktu menjadi bahan bakar yang semakin membuat rindu ini bergejolak

Aku menanti kau datang dan segera memadamkan api rindu yang telah lama menjilati kalbuku

Aku menanti dirimu untuk segera mengeringkan peluh rindu ini di benakku

Sayang, cepatlah datang dan jemputlah aku kedalam dekapan hangatmu

Dan menyurutkan rindu yang hampir menjalar membakar jantungku




Cirebon,

September 27, 2012