Sabtu, 22 September 2012

Perjuangan, Berakhir Pelaminan

Pengorbanan sejati adalah saat dimana kita merelakan seseorang yang sangat kita sayang dan cintai berbahagia dengan orang lain yang menjadi pilihan hidupnya. Melihat orang yang kita sayang dan cintai hidup bersama dengan orang selain kita. Itulah arti pengorbanan sejati menurut saya. Berlapang dada menerima garis Tuhan yang telah di takdirkan untuk kita. Sama halnya seprti yang di alami Adelin. Bertahun-tahun dia menjalani hubungan dengan prianya, Deo. Tetapi akhirnya Adelin harus menerima kenyataan bahwa Deo akhirnya memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan wanita pilihan orang tuanya. Adelin hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik yang penghasilannya hanya pas untuk memenuhi kebutuhan perut keluarganya sehari-hari. Ayahnya meninggal saat dia duduk dibangku kelas 3 SMP. Beruntung, selama Adelin menduduki bangku pendidikan, dia selalu berprestasi dan selalu mendapatkan beasiswa. Sehingga orang tuanya, yang kini hanya tinggal ibunya saja, tak perlu pusing lagi memikirkan biaya pendidikan anak satu-satunya itu. Itu alasannya mengapa orang tua Deo tidak memberikan restu kepada hubungan mereka. Deo adalah anak seorang pengusaha ternama di Jakarta. Dan orang tua Deo sama sekali tidak merestui hubungannya dengan Adelin yang hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik miskin, orang tua Deo menginginkan setelah Deo wisuda, agar menikah dengan rekan bisnis ayahnya. Semula Deo sangat menentang keras keinginan orang tuanya, tetapi setelah Deo bertemu dan menceritakan apa yang terjadi kepada Adelin dan mendapatkan respon yang jauh dengan harapannya, Deo akhirnya mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk menikah dengan anak dari rekan bisnis ayahnya itu.
            “Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, De.” Lirih Adelin.
            “Apa? Ga ada? Lantas, kamu rela gitu aja aku menikah dengan wanita lain, Del!”
            “Aku harus gimana? Apa yang harus aku lakukan, De? Yang pernah orang tua kamu katakan dulu memang benar, aku hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik yang miskin. Sedangkan keluarga kamu? Keluarga kamu dari kalangan yang terpandang dan terhormat. Pengusaha nomor satu di Jakarta. Kamu kaya raya. Keluargaku tak pantas bila harus bersanding dengan keluarga kamu, De! Dan satu hal, restu orang tua itu lebih penting dari segalanya!” Ucap Adelin dengan sekuat tenaga menahan tangis yang hendak menjebol pelupuknya. Dia tak ingin menangis dihadapan Deo. Walaupun dalam hati Adelin sebenarnya sangat kacau, dia tidak rela kalau memang Deo harus menikah dengan orang lain selain dia, tapi Adelin tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin ini memang jalan yang Tuhan gariskan untuk hubungan mereka berdua.
            “Del! Kenapa kamu jadi berfikiran picis seperti ini sih!? Memang keluargaku terlalu angkuh memandang derajat dalam status sosial seseorang, tapi aku ngga! Kalau aku memandang seseorang dari status sosial, dari dulu mungkin aku ga akan bergaul dengan kamu dan bahkan milih kamu sebagai pacarku. Ga akan, Del! Kita bisa ngelakuin hal yang sering dilakukan pasangan lain jia hubngan mereka ga mendapat resu dari orang tuanya. Kawin lari! Kita bisa pakai wali hakim untuk menikahkan kita!”
            “DEO! Jangan gila kamu! Jangan karena hal seperti ini fikiran kamu jadi buta! Kamu ingat, De, restu orang tua lebih penting dari segalanya. Karena restu orang tua adalah restu Tuhan! Kita ga akan pernah bahagia tanpa restu mereka. Istigfhar, De!” bentak, Adelin. Deo tertegun dengan ucapan yang di lontarkan Adelin kepadanya. Hujan mulai membasahi halaman rumah Adelin dan segala yang ada dibumi. Suasana terasa hangat akibat ketegangan yang diciptakan Adelin dan Deo, mengalahkan dinginnya hujan.
            “Kenapa kamu ga ngelarang aku sama sekali, Del? Kenapa kamu ga cegah aku? Kenapa justru kata-kata seperti tadi yang keluar dari bibirmu? Kenapa, Del? Apa artinya hubungan 6 tahun kita selama ini? Kamu masih sayang sama aku kan, Del? Apa kamu bahagia melihat aku bersanding dengan wanita lain selain kamu!?” Deo semakin tidak bisa terkendali. Dia tidak menyangka akan seperti ini. Awalnya, dia berharap kalau Adelin tidak akan rela dengan pernikahannya dengan anak rekan bisnis ayahnya dan mencoba melakukan sesuatu untuk mencegahnya, tapi ternyata harapan hanya tinggal harapan. Adelin justru memberikan argumen yang merujuk untuk merelakan Deo menikahi wanita pilihan keluarganya.
            “Insya Allah, aku akan bahagia selama orang yang aku sayang bahagia. Walaupun orang yang aku sayang akan berbahagia dengan orang lain, bukan denganku. Dalam setiap hubungan, bukannya harus ada pengorbanan? Dan mungkin ini pengorbanan ku terhadap hubungan kita ini... Hujan! Langit udah semakin gelap. Lebih baik kamu kembali kerumah, orang tua kamu pasti khawatir. Maafkan aku, De.” Adelin segera beranjak dari teras meninggalkan Deo dan masuk kedalam rumah. Sedangkan Deo, masih duduk terdiam menatap hujan di teras rumah Adelin. Fikirannya liar tak tentu arah. Deo masih tidak menyangka Adelin akan merelakannya bersanding dengan wanita lain.
            Adelin memandanginya dari jendela, kini pelpuknya tak sanggup lagi menahan genangan yang sedari tadi ia tahan. Deras tangis Adelin sama seperti derasnya hujan yang turun sore itu di luar. Adelin terus memandangi Deo hingga akhirnya Deo beranjak dan mulai pergi meninggalkan teras rumah Adelin dan menghilang besama deraian hujan yang semakin lebat. Kini hubungannya dengan Deo benar-benar berakhir. Semoga kamu berbahagia dengannya, De. Lirih hati Adelin. Mungkin, Tuhan memang tidak mentakdirkan dirinya dengan Deo. Adelin yakin, dibalik ini semua pasti akan ada rencana yang lebih indah yang Tuhan persiapkan untuknya. Dari belakang ibunya mendekap hangat menenangkan hati Adelin yang saat itu benar-benar sangat kacau dan teriris.
            “Sabar ya ndo, sudah, Cep cep cep... kalau kalian memang berjodoh pasti akan ada jalannya untuk kalian kembali.”
***
            Pagi itu adalah hari yang sangat Adelin tunggu-tunggu. Karena hari ini adalah hari pengumuman seleksi beasiswanya ke Prancis. Bulan lalu Adelin mencoba mengikuti tes beasiswa S2 Bisnis di Prancis. Adelin sangat menginkan beasiswa tersebut. Dia menanti dengan setia di teras rumahnya berharap ada bapak-bapak berseragam orange yang mengantarkan surat yang sangat dinantikannya. Setengah hari dia menanti di teras, tapi tak kunjung datang. Sempat Adelin mulai merasa sedikit pesimis. Apakah berarti dirinya tidak lolos dan mendapat beasiswa ke Prancis? Padahal dia benar-benar sangat mengharapkannya.
            “Ndo, makan siang dulu. Mau sampai kapan nunggu terus disitu? Nanti kalau ada pak pos datang juga pasti bakalan ngetuk pintu rumah kita, ndo. Ayo makan siang dulu, nanti kamu sakit.” Bujuk ibunya dengan logat jawanya yang khas.
            “Iya bu. Nanti aku makan.”
            Waktu menunjukan pukul 16.30 dan tanpa sadar Adelin tertidur di teras rumahnya. Memang, dari pagi Adelin setia menanti di teras rumahnya dia tidak sedikit pun beranjak meninggalkan teras kecuali jika waktu sholat tiba. Dia akan masuk sebentar dan setelah sholat dia kembali lagi duduk menanti di kursi terasnya.
            “Assalamualaikum. Permisi...” Suara itu mengagetkan Adelin yang saat itu ketiduran diteras.
            “Waalaikumsalam. Pak pos!” Sambut Adelin girang. Akhirnya orang yang ditunggu-tungu dari pagi datang juga. Tukang pos menyerahkan 2 amplop coklat yang bertuliskan namanya. Satu dari alamat pihak yang menyediakan beasiswa dan satu lagi dari alamat yang sudah tidak asing lagi baginya. Adelin memutuskan untuk membuka pengumuman beasiswanya terlebih dahulu. Jantungnya seperti habis berlari marathon, keringat dingin pun mengalir membasahi tubuhnya. Iya tegang dengan hasil yang ada di dalam amplop itu. Bismillah.
            “Alhamdulillah. Ibuuuuuuu... Ibuuuuu aku diterima bu. Aku lulus seleksi beasiswanya bu.” Adelin berteriak bahagia dan langsung berlari menuju ibunya di dapur. Dia langsung menyerakan amlplop yang berisi pengumuman ke ibunya.
            “Selamat ya, ndo.” Ibunya memeluk Adelin erat. Mereka berdua menangis bahagia.
            “Tapi bu, kalau aku berangkat. Ibu sama siapa?”
            “Sudah, kamu ga usah khawatir, ndo. Sendirian juga ibu gpp ko, ibu wani.”
            “Bukan masalah wani atau ngga bu. Tapi... haa! Aku minta Akbar tinggal bareng ibu aja ya disini? Biar nanti aku yang bicara sama bude Ratna supaya Akbar gausah ngekos lagi dan bisa tinggal sama ibu. Gimana?”
            “Terserah kamu saja, ndo.”
            Tiba-tiba Adelin teringat dengan surat satunya yang dia tinggalkan diteras. Dia kembali ke teras dengan senyum yang terus mengembang dari bibirnya. Tapi seketika, senyumannya luntur setelah membaca nama pegirim surat satunya yang ternyata dari Deo. Dia membuka bungkusan coklat tersebut dan ternyata itu adalah undangan pernikahan Deo dengan Marsya. Anak rekan bisnis ayahnya Deo. Hati Adelin seolah mndapatkan tusukan yang bertubi-tubi. Hatinya sakit. Tapi, dia tidak boleh terus bersedih karena dulu juga dia yang mengijinkan dan merelakan Deo menikah dengan anak rekan bisnis ayahnya Deo. Adelin membuka dan membaca kapan pernikahan Deo akan dilangsungkan. Ada sedikit perasaan lega di hatinya. Karena ternyata, tanggal pernikahan Deo sama dengan tanggal keberangkatannya ke Prancis. Adelin lega, karena dia tidak harus lihat langsung orang yang sangat disayangnya bersanding dengan wanita yang bukan dirinya dipelaminan dan dia tidak harus berpura-pura tersenyum bahagia saat dia harus bersalaman dengan kedua pengantin diatas pelaminan. Dia tidak perlu membohongi dirinya.
***
            Dear, Deo.
                Selamat atas pernikananmu. Semoga menjadi keluarga yang berbahagia. Maaf, aku ga bisa hadir dalam acara ini. Mungkin saat kamu baca surat ini, aku sudah dalam perjalanan ke Prancis. Aku mendapat beasiswa studi S2 Bisnis disana. Cintai pasanganmu yang sekrang dengan tulus. Anggaplah pernikahanmu bukan sebuah perjodohan, jangan kamu jalankan kehidupanmu nanti dengan beban. Salam untuk pengantin wanita. Ucapkan selamat untuknya.

                                                                                                                                                                                                                                Salam, Adelin.

                Sebelum keberangkatannya ke Prancis, Adelin menuliskan sepucuk surat untuk Deo yang mewakili kehadirannya dalam pernikahan Deo. Adelin menitipkan suratnya kepada sahabat karibnya yang juga sahabat Deo, Rendy.
            “Gue tititp ini untuk Deo ya. Tolong sampein ke dia sebelum acara akad nikahnya. Gue ga bisa datang besok.”
            “Loh kenapa, Del? Bukan karena...”
            “Bukan ko. Gue dapat beasiswa S2 di Prancis. Dan besok gue harus berangkat.”
            “Wow, seamat ya. Berapa lama lo disana?”
            “Iya, thanks, Ren. Gue belum tau pasti. Mungkin sekitar 6 tahun gue baru balik lagi kesini.”
            “Hmm.. lama juga dong lo pergi. Yaudah, sukses ya disana!”
            “Aamiin. Gue balik dulu ya. Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam. Hati-hati, Del.”
***
            “Adelin, nitipin surat ini untuk lo.”
            Deo segera membuka surat yang diberikan Rendy dengan seksama. Kaget, sedih, bahagia, campur aduk perasaan Deo saat itu. Dia kaget karena Adelin tidak pernah memberitahukan sebelumnya kalau dia akan ikut beasiswa ke Prancis. Sedih, karena Deo belum sempat mengucapkan selamat untuknya. Dan bahagia karena dia tidak perlu melihat hati wanita yang sangat ia cintai harus teriris sakit melihat dirinya bersanding di pelaminan dengan wanita selain Adelin.
            “Deo. Ayo! Akad nikah akan segera dimulai.” Tiba-tiba suara ibunya mengagetkan lamunannya. 5 menit lagi Deo akan berijab kabul didepan penghulu dan keluarga lainnya meminang seorang wanita pilihan orang tuanya. Deo harus berbesar hati dengan garis Tuhan yang ditakdirkan untuknya menikah dengan wanita selain Adelin. Dalam hatinya Dep berdoa agar Adelin selalu diberikan kebahagiaan dan perlindungan disana. Begitupun sebaliknya, di pesawat mata Adelin terpejam. Dalam hatinya berdoa agar acara pernikahan Deo berjalan lancar dan Deo bisa berbahagia dengan kehidupan barunya. Air matanya mengalir. Entah air mata kesedihan atau air mata kebahagiaan karena saat itu perasaannya campur aduk menjadi satu. Selamat. Lirih Adelin disela pejaman matanya.
***
6 Tahun kemudian.
            "Maaf pak, sepertinya saya tersasar... Kurang tau pak... Bisa minta tolong anak buah anda untuk menjemput saya?... Posisi saya sekarang ada di depan AlfaMart daerah Kebayoran Lama... Baik pa... Iya, baik... Terimakasih... Maaf sebelumnya."
            Setelah 6 tahun Adelin merantau di negara orang, akhirnya dia kembali ke tanah air. Sudah kurang lebih 2 minggu Adelin di Indonesia. Dulu, dia hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik miskin kini menjelma menjadi Adelin seorang pakar bisnis yang namanya sudah di kenal di dalam maupun luar negri. Karirnya sangat cemerlang. Tapi, walaupun Adelin sudah menjadi wanita sukses, Adelin masih tetap menjadi Adelin yang dulu. Dia tidak lupa dari siapa dia dilahirkan, darimana asalnya dulu, siapa teman-temannya dulu dia tidak pernah melupakannya sama sekali.
            Setelah kembalinya dia ke tanah air, Adelin langsung direkrut untuk menjadi rekan bisnis salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dia diminta untuk menangani proyek besar dari perusahaan tersebut. Dengan senang hati tentunya Adlin menerima tawaran tersebut. Tapi sayangnya, di hari pertamanya dia malah salah alamat dan entah di daerah mana dia sekarang. Untungnya si bos yang merekrut Adelin mengirim anak buahnya untuk menjemputnya, anak buahnya yang tak lain adalah Deo. Mantan kekasih Adelin 6 tahun yang lalu.
            "De, kamu tolong jemput Bu Adel di daerah Kebayoran Lama, dia tersesat. Tadi dia bilang dia berhenti di depan AlfaMart daerah situ. Kamu cari saja ya, kalau tidak salah mobilnya sedan Vios hitam."
            "Baik, om."
            Deo segera meluncur ketempat yang diberitahukan bosnya tadi. Bosnya adalah omnya Deo. Deo bekerja di salah satu perusahaan ayahnya yang di kelola oleh omnya saat itu. Deo lebih memilih satu kantor dengan omnya daripada harus satu kantor dengan ayahnya. Deo memang sedikit kurang akur dengan ayahnya. 15 menit kemudian Deo tiba di daerah yang di perintahkan omnya tadi, Deo memperlambat laju mobilnya sambil mencari alfamart dan mobil vios hitam.
            "Nah, itu dia!" Deo segera memarkirkan mobilnya di seberang alfamart dan turun mendekati mobil vios hitam yang parkir didepan alfamart tersebut. Deo mencoba mengetok kaca jendela sampai si empunya mobil menurunkan kacanya.
            "Ibu Adel?" tanya Deo ke wanita berambut panjang ikal dan pirang di depannya. Wanita tersebut mengenakan kacamata hitam. Beautiful. Gumam Deo dalam hatinya.
                "Iya, saya Adel." Adelin terdiam kaget karena dia melihat sosok seseorang yang 6 tahun lalu sangat ia sayang dan cintai sekarang ada dihadapannya. "Deo," Adelin melepas kacamata hitamnya dan Deo pun tak kalah kaget mendapati wanita yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya yang dulu pergi ke Prancis saat pernikahannya dengan wanita lain sekarang berada tepan di depannya.
            "Adelin," 10 menit mereka saling melempar pandang tanpa sepatah kata yang keluar dari bibir masing-masing kecuali saling menyebutkan nama mereka.
            "Emm... Ayo, bawa aku ke kantormu sekarang. Aku udah telat." Adelin membuyarkan lamunan mereka berdua.
            "Oh, iya. Kamu ikutin mobilku, ya."
              Mereka segera melajukan kembali mobilnya menuju kantornya Deo. Sudah telat 1 jam akibat Adelin salah alamat. Setelah sampai, mereka berdua segera bergegas menuju ruang rapat. Pak Sihab, om Deo sudah menantinya dari tadi.
            "Baru 6 tahun saja udah lupa daerah Jakarta," Ledek Deo.
            Adelin hanya membalasnya dengan tertawa. Saat itu di lift hanya mereka berdua.
            "Gimana kabar kamu? Sudah sukses ya sekarang."
            "Yah, seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik aja. Berkat doamu juga aku bisa seperti ini sekarang."
            Pintu lift terbuka dan mereka berdua mempercepat langkahnya menuju ruang rapat yang sudah tertunda sejam lalu.
            "Maaf, pak. Saya tadi tersasar."
            "hahaha sudahlah tak apa. Maklum saja, kamu sudah lama meninggalkan tanah air dan merantau di negara orang. Itu sudah hal yang lumrah."
            "Terimakasih atas perhatiannya, pak."
            "Baiklah, rapat kita mulai sekarang."
            Pak Sihab langsung memulai rapat yang membahas tentang sektor baru yang sedang digarap perusahaannya yang saat itu Deo sebagai pemimpin rapat sekaligus penanggung jawab proyek baru ini. Kurang lebih 3 jam rapat berlangsung dengan lancar walah sedikit kendala di awal. Adelin langsung izin mengundurkan diri terlebih dahulu. Dia harus segera pulang karena tidak ingin melewatkan waktu makan malam bersama ibunya.
            Tapi tak disangka, mobil yang dibawa Adelin mogok. Terpaksa dia meninggalkan mobilnya di parkiran kantornya dan pulang dengan taksi. Tapi saat Adelin baru sampai di gerbang kantornya, Deo menawarkan untuk mengantar Adelin pulang kerumah.
              "Kemana mobilnya? Kok jalan?"
            "Iya aku tinggal. Mogok, De."
            "Mogok? Yaudah, bareng aku aja. Ayo!"
            "Ga usah repot, De. Aku naik taksi aja."
            "Gpp. Ayolah. Aku mau ngobrol2 sama kamu. Kan udah lama juga kita ga ketemu. Kamu ga kangen?"
            "haha apaan sih kamu, De. Baiklah karena kamu memaksa." Deo tersenyum bahagia karena Adelin mau ikut dengan mobilnya. Selama diperjalanan mereka memperbincangkan banyak hal. Sampai pada akhirnya Adelin menanyakan bagaimana hubungan Deo dengan istrinya sekarang.
            "Loh, De. Rumahku kan belok kiri. Ini kok?"
            "Sebentar, kok."
            "Mau kemana sih?" Deo hanya terdiam dan terus membawa laju mobilnya sampai berhenti di sebuah tempat pemakaman umum di Jakarta.
            "Loh, kita mau ngapain, De, sore-sore gini kamu bawa aku ke makam?"
            "Turun sebentar yuk," Deo mengajak Adelin untuk turun dan mengikuti langkah kakinya ke sebuah pusara yang rumputnya indah dan tertata dengan rapih.
            "Ini..."
            "Iya, ini pusara istri aku. Marsya. Dia meninggal setelah 2 tahun pernikahan kami."
            "De, maaf. Sebelumnya aku ga tau soal ini. Aku turut berduka cita."
            "Iya, gpp, Del. Makasih. Marsya belum sempat memberikan keturunan untuk keluargaku. Calon bayinya ikut meninggal."
            "De... Sabar ya. Marsya meninggal kenapa?"
            "Kecelakaan."
            "Sabar ya, De." Deo terus memandangi pusara istrinya. Walau dulu Deo menikah dengan Marsya tanpa didasari cinta sedikitpun, tapi perlahan rasa cinta dan sayang Deo ke Marsya mulai muncul walau disisi lain Deo masih sangat mencintai Adelin. Namun saat Marsya meninggal, Deolah orang yang sangat bersedih dengan kepergiannya. Bagaimana tidak? Marsya meninggal bersama dengan calon buah hatinya dan Marsya pergi disaat Deo mulai bisa mencintainya.
            "Yaudah. Pulang yuk. Hampir gelap."
            "ayo."
            Selama perjalanan pulang tak ada yang berani untuk memulai pembicaraan. Hanya hening yang terasa sampai mobil Deo berhenti di depan rumah Adelin.
            "Salam ya untuk mamahmu. Sampai ketemu besok." ujar Deo. Adelin hanya membalas dengan senyuman ringan dibibirnya. Baru saja Adelin menutup pintu mobil Deo, seorang anak perempuan dengan rambut di kucir kuda pada kedua sisinya langsung berteriak dan melompat girang kepelukan Adelin.
            "Bundaaaaaaaaaaa"
            "Heeey," Adelin mendaratkan sebuah kecupan sayang pada kening sang anak. Deo tetap terdiam melihatnya sambil berfikir siapa anak yang memanggil Adelin dengan sebutan bunda tadi. Anaknya? Artinya Adelin sudah menikah? Gumam Deo dalam hatinya. Difikirannya kini penuh dengan pertanyaan pertanyaan tentang anak kecil tadi. Biar besok saja dia tanyakan langsung pada Adelin di kantor.
***
            "Ommaaa... Ommma bunda pulang..." ucap sang anak kecil tadi sambil berlari kearah dapur memanggil omanya yang tak lain adalah ibunya Adelin.
            "Bu. Tadi aku diantar Deo."
            "Deo?"
            "Iya. Deo. Aku bertemu lagi. Dan ternyata sekarang aku kerja di kantor milik ayahnya Deo yang dikelola Omnya."
            "Lalu. Perasaan kamu gimana?"
            "Kaget. Dan... senang." senyuman merekah dari kedua bibir mungil Adelin. Dia merasa sangat bahagia bisa kembali dipertemukan dengan Deo.
            "Inget loh, ndo. Deo itu sekarang sudah beristri. Kamu jangan sampai mengacaukan keluarga barunya. Kasihan."
            "ya nggalah bu. Aku ya ga setega itu. Tapi bu, istrinya 2 tahun yang lalu meninggal. Dan tadi aku dibawa ke makam istrinya."
            "Innalillahi. Meninggal kenapa?"
            "Kecelakaan."
            "Bundaa.. Bunda temani aku mainnn.. Ayooo..." tiba-tiba rengekan si anak kecil tadi memotong perbincangan Adelin dengan Ibunya.
            "Iya, tapi bunda mandi dulu ya. Keila main sama oma dulu ya?" bujuk Adelin.
            "Yah bundaaa..."
            "Ayo sini, Keila main sama oma dulu yuk. Biar bundanya mandi dulu."
            "yaudah deh.." Keila langsung berlari kearah omanya dengan bibir yang maju 5 senti. Adelin langsung beranjak ke arah kamarnya untuk membasuh peluh yang dari pagi menempel di tubuhnya.
***
            "Del. Makan siang bareng yuk? Ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu."
            "Bentar ya, De. Sedikit lagi laporanku selesai. Kamu tunggu diruangan kamu aja. Nanti aku kesitu."
            "Baiklah."
            Deo masih terbayang dengan anak perempuan yang dilihatnya kemarin dirumah Adelin. Anak perempuan yang memanggil Adelin dengan panggilan Bunda. Hal tersebut terus membayang bayanginya. Dan sekarang Deo harus mendapatkan jawabannya langsung dari mulut Adelin. Setelah beberapa jam, akhirnya laporan yang sedang digarap Adelin selesai. Dia langsung beranjak menuju ruangan Deo.
            “De. Yuk!”
            Deo langsung mengikuti langkah Adelin dan berusaha mengejarnya agar langkah mereka sejajar.
            “Mau makan dimana? Pakai mobil gue aja kali ya?”
            “Terserah lo aja deh yang ngajak.”
            “Oke.”
            Deo membawa mobilnya melaju menuju restauran tempat biasa dia dan Adelin dulu menghabiskan waktu berdua. Tidak jauh, cukup ditempuh selama 10 menit dari tempat kerja mereka.
            “Mba! Chiken katsu ga pake mayonaise 2 minumnya jus strawberry 2.”
            “Hm.. kamu masih inget sama makanan favorite aku? Katsu tanpa mayonaise.”
            “Tentu”
            Banyak kenangan indah yang terbesit di relung fikiran mereka tentang tempat ini. Seolah masalalu memaksa mereka untuk kembali ke masa saat mereka masih bersama dan menghabiskan tawa canda di tempat ini.
            “Cukup banyak yang berbeda ya dengan tempat ini. Lebih bagus.”
            “Ya. Semua pasti melakukan perubahan menjadi lebih bagus. Baik itu manusia ataupun lainnya. Iya kan?”
            “Yes.”
            “Hm, Del. Ada yang ma aku tanyain sama kamu.”
            “Apa?”
            “Sekarang kamu sama siapa?”
            “Sama siapa? Sekarang ya aku lagi sama kamu, makan siang. Haha iya kan?”
            “hehe iya.. tapi maksud aku... kamu udah menikah?”
            Adelin agak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Deo. “Hm.. Belum. Kenapa?”
            “Belum?”
            “Iya.” Adelin mnjawab santai pertanyaan Deo sambil sesekali dia memainkan memutar-mutar sedotan dalam minmannya.
            “Hm.. lantas, kemarin saat aku nganter kamu pulang. Ada anak kecil yang lari kearah kamu dan memanggil kamu dengn sebutan, Bunda?”
            “Dia anak aku.”
            “Anak?” Deo merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Adelin. Anak tapi tidak menikah? Lantas? Atau... banyak fikiran-fikiran negatif yang berkecamu dalam otaknya.
            “Dia memang anakku. Tapi, anak angkat.”
            “Anak angkat?”
            “Iya. Sebenarnya dia itu keponakan aku, tepatnya. Tapi kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Lalu aku berinisiatif untuk merawat dan mengangkatnya jadi anak aku.”
            “Oh.. begitu.” Tomi melepas nafas lega.
            “Kenapa? Kamu fikir itu anak hasil hbungan tanpa ikatan pernikahan? Gila!” Mereka tertawa berdua. Melanjutkan makan hingga tak terasa mereka sudah melewati batas istirahat kantornya. Mereka bergegas menghabiskan makan mereka dan kembali ke kantor.
***
            “Dari mana saja kalian berdua ini? Kalian tau kan jadwal makan siang kantor itu sampai jam berapa?” Tegur pak Sihab saat bertemu dengan Deo dan Adelin di lobbi kantor.
            “Maaf om, ini salah saya. Tadi saya ajak Adelin makan siang agak jauh dari sini. Dan kita keasikan ngobrol sampai lupa waktu. Sekali lagi saya dan mewakili Adelin minta maaf om.”
            “Baiklah, baiklah. Kalian jangan ulangi lagi. Mengerti? Sekarang kembali bekerja.”
            “Mengerti, om.. Pa.” jawab Deo dan Adelin bersamaan.
            “Oh iya, Del, saya tunggu kamu diruangan saya 15 menit lagi. Bawa laporanmu yang sudah digarap.”
            “Baik, Pa.”
            Ruangan Adelin dan Deo sama-sama berada di lantai 10. Hanya saja berbeda arah, ruangan Deo di arah kanan dari lift, sedangkan Adelin di arah kiri dari lift.
***
            Matanya sudah tidak bisa lagi dijak kompromi. Seperti ada maghnet di kedua pelupuknya yang saling tarik menarik. Berat. Namun, baru saja Adelin mencoba untuk memejamkan matanya, handphonenya berbunyi. 1 Received Message.

            From: Deo Hardian
                Besok malam, ada acara ga? Kita dinner. Bisa?
                Mata yang tadinya terasa begitu berat, seketika terbelalak setelah membaca sms dari Deo.
                To: Adelin Indah
                Bisa.
                From: Deo Hardian
                Oke. Aku jemput jam 8 ya. See you and selamat tidur. Good nite.
***
            “Mau kemana, Del? Cantik sekali.” Puji ibunya.
            “Deo ngajakin aku dinner bu. Keila udah tidur?”
            “Hmm sepertinya ada yang CLBK ya? Cinta Lama Belum Kelar. Hehe. udah tuh.”
            “Ah ibu...” Pipi Adelin yang putih bersih mendadak berubah menjadi semu merah. Ibunya berhasil membuat Adelin tersipu malu. Dari luar terdengar suara klakson mobil, Deo.
            “Biar aku yang buka!” Sahut Adelin girang. Malam ini Adelin seperti seseorang yang baru memenangkan undian. Bahagiaaaaaa sekali.
            “Assalamualaikum,” Sapa Deo mengetuk pintu rumah Adelin.
            “Waalaikumsalam,” Jawab Adelin dan ibunya berbarengan. Deo langsung bersalaman dan bertanya kabar ke ibunya Adelin.
            “Walaaah, tambah tampan aja ya kamu, De. Pangling ibu baru lihat lagi.”   
            “Hehe.. makasi bu. Del, siap?”
            “Siap,” jawab Adelin yakin dengan senyum yang terus mengembang dari bibirnya. Adelin dan Deo langsung berpamitan kepada ibunya Adelin. Malam ini, Deo telah menyiapkan kejutan spesial untuk Adelin. Dia telah mempersiapkannya dengan matang. Malam ini, Deo yakin akan melamar Adelin menjadi pasangan hidupnya. Saat-saat yang telah lama sekali dinanti Deo.
            “Kamu pake ini,” Deo menyodorkan sebuah sapu tangan untuk diikatkan di matanya Adelin.
            “Untuk apa, De?”
            “Pake aja. Atau sini aku pakein.” Senyum masih terus mngembang dari bibir, Deo sambil mengikatkan sapu tangan dimata Adelin. Dia berharap Adelin sangat menyukai malam ini, dan tentu saja Deo berharap Adelin menerima lamarannya. Deo menggandeng tangan Adelin dan menuntunnya kesebuah taman di belakang restauran. Disana terpasang ribuan lilin yang sengaja Deo tata khusus untuk Adelin. Suasana yang begitu romantis ditambah dengan sorot cahaya bulan purnama yang sangat terang memancarkan cahayanya seperti sebuah lampu sorot di panggung pertunjukan yang menyorot sang bintang utama dan bintang-bintang bertaburan liar di langit sana. Sangat indah dan romantis.
            “Aku buka ikatannya, tapi kamu harus tetap merem ya. Jangan dibuka dulu.”
            “Apaan sih emang, De?”
            “Oke, kamu boleh buka mata sekarang.”
            Adelin tertegun takjub melihat pemandangan yang sangat indah dihadapannya. Seperti dalam mimpi. Melihat sekeliling dengan wajah yang masih heran. “De, kamu yang buat semua ini?” tanya Adelin.
            “Iya. Kamu suka?”
            “Banget. Indah.”
            Deo mengeluarkan box kecil berwarna biru dari saku celananya. “Del, will you marry me?
            Adelin semakin kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Deo. Tuhan. Mimpikah ini? Tanya Adelin dalam hati. Dia sangat kaget dan tidak percaya dengan malam ini. Dibawah sinar rembulan dan di sekeliling ribuan lilin yang menari meliuk-liukan pijarnya, Deo memintanya untuk menjadi pasangan hidupnya. Pelupuknya tak kuasa menahan air mata haru.
            “Del?”
            “De. Ini nyata? Atau aku hanya mimpi?”
            “Mungkin memang terlalu cepat. Kita baru bertemu lagi beberapa minggu belakangan ini. Kamu tau bagaimana perasaan aku saat aku kembali bertemu dangan kamu? Bahagia, Del. Sanagt bahagia. Aku ga mau kehilangan kamu lagi, Del. Cukup aku kehilangan kamu dulu. Sekarang, aku ingin kamu kembali keposisi kamu dulu. Menjadi pasanganku, dan sekarang aku memintamu untuk menjadi pasangan hidupku. Selamanya.”
            Air mata Adelin terus mengalir. Dia benar-benar tak menyangka bahwa akan terjadi hal seperti ini malam ini. Adelin bahagia, sangat sangat bahagia.
            “Aku berasa seperti mimpi, De.”
            “Ini nyata, Del.”
            “Boleh kamu kasih aku waktu?”
            “Baiklah. Aku juga gamau terlalu buru-buru dan seakan memaksa kamu. Kapanpun kamu akan kasih jawabannya, akan aku tunggu.”
            Mereka melanjutkan dengan brbincang-bincang dan mengenang masa lalu saat mereka mulai berpacaran kelas 2 SMA lalu hingga tragedi perjodohan Adelin dan Alm. Marsya. Tiba-tiba Adelin teringat dengan kedua orang tua Deo. Apa kedua orang tuanya masih tidak menyukai Adelin? Dia takut kejadian dulu kembali terulang. Saat kedua orang tua Deo menolak Deo bersanding dengannya.
            “De, gimana dengan orang tua kamu?”
            “Orang tuaku? Ga usah khawatir. Karena keuletan kamu dan kesuksesan kamu, kedua orang tuaku akhirnya setuju kalau aku kembali dengan kamu. Om ku, bos kita selalu melaporkan perkembangan dan prestasi-prestasi keberhasilan kamu. Ayahku juga merasa beruntung salah satu perusahaannya bisa merekrut orang seperti kamu. Akhirnya mereka mendukungku 100% untuk bersanding dengan kamu. Sekarang, tinggal keputusan dari kamunya aja gimana.”
            Adelin tersenyum lega. Semoga yang tadi diomongkan Deo tentang kedua orangtuanya yang mulai setuju bila Deo kembali dengan Adelin itu memang benar adanya. Malam semakin larut. Deo mengantar Adelin pulang kerumahnya. Dalam perjalanan pulang, senyuman mereka berdua terus mengembang dari bibir masig-masing. Malam ini malam yang sangat indah dan sangat bahagia. Walau hati Deo masih merasa getir, takut jawaban yang keluar dari mulut Adelin nanti jawaban yang tak ingin Deo dengar sama sekali namun Deo merasa lega dan sangat bahagia.
***
            Satu bulan berlalu, namun Adelin tak kunjung memberikan jawaban tentang pinangan Deo bulan lalu. Adelin masih merasa bimbang dan ragu.
            “Bu, menurut ibu gimana dengan pinangan Deo? Aku bingung.”
            “Bingung gimana lagi toh, ndo?”
            Adelin hanya terdiam sambil menatap kotak cincin yang diberikan Deo bulan lalu.
            “Ndo, apa kamu tidak bisa membaca pertanda yang Tuhan berikan tentang semua ini? 6 tahun lamanya kalian terpisah, Deo menikah dengan wanita lain dan kamu meneruskan study kamu ke Prancis. Tapi setelah 2 tahun pernikahan Deo dengan istrinya, Tuhan mengambil istriya lebih dulu kembali kepangkuan Ilahi. Dan saat kamu kembali ke Indnesia, kamu kembali dipertemukan dengan Deo di satu perusahaan yang sama. Wallahualam, entah ini merupakan tanda bahwa kalian berjodoh atau bukan. Tapi, bukankah ini yang selama ini kamu harapkan, ndo? Bersanding dengan Deo dalam satu pelaminan pernikahan suci? Kamu ingat ndo ucapan ibu dulu? Kalau memang kalian berjodoh, tidak akan kemana.”
            Adelin masih saja terdiam. Fikirannya mulai liar memikirkan sesuatu tentang ucapan ibunya tadi. Benarkah ini semua pertanda bahwa Adelin dan Deo memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama? Adelin langsung meraih handphonenya yang dia taruh di atas meja makan. Jemarinya yang lentik mengarahkan kursor trackpadnya ke nomor Deo.
            To: Deo Hardian
De, kamu sibuk ga? Aku tunggu di restauran yang biasa kita datengin ya. Sekarang aku lagi mau otw kesana.
            Deo yang siang itu hendak mencoba memejamkan matanya menyadari handphonnya yang bergetar diatas meja lampu samping tempat tidurnya. 1 Received Message, Adelin Indah.
Deo langsung bergegas ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelah itu dia langsung meraih kunci mobilnya di samping meja TV kamarnya dan langsung membawa mobilnya meluncur ke tepat Adelin menunggu.
            “Hey.” Sapa Deo.
            “Hey.” Balas Adelin dengan senyuman khasnya yang selalu menampilkan lekukan pada kedua pipinya.
            “Udah lama? Dadakan banget, Del. Ada apa?”
            Adelin menyodorkan kotak cincin warna biru yang diberikan Deo bulan lalu. Deo kaget. Entah apa maksud Adelin mengebalikan cincin yang dia berikan saat dia melamar Adelin.
            “Maaf, terlalu lama buat kamu menunggu jawaban dari aku. Aku bingung.”
            “Bingung?”
            “Mungkin saat kamu melamarku bulan lalu, aku rasa itu masih terlalu cepat. Baru beberapa minggu kita kembali bertemu dan kamu lanngsung melamarku.”
            “Tapi kita udah kenal lama kan? Dulu kita juga punya hubungan, sangat lama. Aku tahu kamu, dan kamu tahu aku.”
            “Iya memang. Kita udah lama saling kenal. Kita juga pernah pacaran untuk waktu yang sangat lama. Tapi setelah itu kita juga terpisah untuk waktu yang sangat lama. Aku...”
            “Oke, aku ngerti maksud kamu. Jujur, awal pernikahan aku dengan Alm. Marsya memang tidak aku dasari dengan cinta. Tapi perlahan aku mulai merasa nyaman dan sayang sama istri aku. Tapi asal kamu tahu, jauh dilubuk hati aku yang paling dalam, nama kamu selalu melekat, Del. Perasaan sayang dan cintaku masih lbih besar untuk kamu.”
            Keduanya terdiam cukup lama.
            “Boleh aku kemakam istri mu, De? Aku ingin bicara sesuatu dengannya.”
            “Hm.. baiklah.”
            Tak lama mereka beranjak mninggalkan restauran tersebut dan langsung menuju makam istri Deo. Selama perjalanan mereka berdua terdiam. Tidak ada yang mencoba untuk memulai pembicaraan hingga sampai dimakam.
            “Hai, aku datang. Kamu baik-baik aja kan? Sya, kamu masih ingat dengan Adelin? Kami bertemu lagi. Dan sekarang Adelin ada disini bersamaku. Dia mau bicara sesuatu sama kamu.” Ucap Deo.
            “Hai, Sya. Aku Adelin. Dulu saat aku mendengar dari mulut Deo langsung bahwa dia akan bersanding dengan mu di pelaminan, rasanya sangat sangat memilukan. Terasa seperti teriris pisau. Tapi yasudahlah. Demi kebahagian Deo, aku merelakannya. Maaf saat pernikahan kalian aku tidak hadir. Bukan karena aku tidak ingin melihat kebahagiaan kalian, tapi kebetulan pernikahan kalian bertepatan dengan keberangkatan aku ke Prancis. Dan keberangkataku tidak bisa ditunda. 6 tahun lamanya aku merantau disana dan terpisah dari Deo, tapi akhirnya aku dipertemukan kembali dengan Deo. Entah apakah ini pertanda dari Tuhan bahwa aku digariskan utuk kembali dengan Deo. Aku tidak tahu. Sya, aku.. boleh aku menggantikan posisimu sebagai pendamping hidup Deo?”
            Deo terhentak kaget mendengar pernyataan Adelin tadi.
            “Del, ka.. kamu...”
            “Aku mau jadi pendamping hidup kamu, De.”
            “Sssee.. se..serius?”
            Adelin mengangguk yakin. Deo langsung meraih kotak cincin dari dalam saku celana dan langsung memasangkan cincin di jari manis tangan kanan Adelin. Hari ini benar benar hari yang sangat membahagiakan bagi mereka berdua. 2 hati yang sempat lama terpisah, akhirnya kini kembali dipersatukan. Memang benar kata pepatah, kalau memang jodoh tidak akan kemana. Bagaimana pun rintangan dan halangan yang mereka lalui, namun jika mereka memang digariskan untuk bersama tidak ada yang bisa menolaknya. Semoga kebahagiaan mereka terus berkelanjutan.
---END---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 22 September 2012

Perjuangan, Berakhir Pelaminan

Pengorbanan sejati adalah saat dimana kita merelakan seseorang yang sangat kita sayang dan cintai berbahagia dengan orang lain yang menjadi pilihan hidupnya. Melihat orang yang kita sayang dan cintai hidup bersama dengan orang selain kita. Itulah arti pengorbanan sejati menurut saya. Berlapang dada menerima garis Tuhan yang telah di takdirkan untuk kita. Sama halnya seprti yang di alami Adelin. Bertahun-tahun dia menjalani hubungan dengan prianya, Deo. Tetapi akhirnya Adelin harus menerima kenyataan bahwa Deo akhirnya memilih untuk melanjutkan hidupnya dengan wanita pilihan orang tuanya. Adelin hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik yang penghasilannya hanya pas untuk memenuhi kebutuhan perut keluarganya sehari-hari. Ayahnya meninggal saat dia duduk dibangku kelas 3 SMP. Beruntung, selama Adelin menduduki bangku pendidikan, dia selalu berprestasi dan selalu mendapatkan beasiswa. Sehingga orang tuanya, yang kini hanya tinggal ibunya saja, tak perlu pusing lagi memikirkan biaya pendidikan anak satu-satunya itu. Itu alasannya mengapa orang tua Deo tidak memberikan restu kepada hubungan mereka. Deo adalah anak seorang pengusaha ternama di Jakarta. Dan orang tua Deo sama sekali tidak merestui hubungannya dengan Adelin yang hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik miskin, orang tua Deo menginginkan setelah Deo wisuda, agar menikah dengan rekan bisnis ayahnya. Semula Deo sangat menentang keras keinginan orang tuanya, tetapi setelah Deo bertemu dan menceritakan apa yang terjadi kepada Adelin dan mendapatkan respon yang jauh dengan harapannya, Deo akhirnya mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk menikah dengan anak dari rekan bisnis ayahnya itu.
            “Tak ada yang perlu dipertahankan lagi, De.” Lirih Adelin.
            “Apa? Ga ada? Lantas, kamu rela gitu aja aku menikah dengan wanita lain, Del!”
            “Aku harus gimana? Apa yang harus aku lakukan, De? Yang pernah orang tua kamu katakan dulu memang benar, aku hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik yang miskin. Sedangkan keluarga kamu? Keluarga kamu dari kalangan yang terpandang dan terhormat. Pengusaha nomor satu di Jakarta. Kamu kaya raya. Keluargaku tak pantas bila harus bersanding dengan keluarga kamu, De! Dan satu hal, restu orang tua itu lebih penting dari segalanya!” Ucap Adelin dengan sekuat tenaga menahan tangis yang hendak menjebol pelupuknya. Dia tak ingin menangis dihadapan Deo. Walaupun dalam hati Adelin sebenarnya sangat kacau, dia tidak rela kalau memang Deo harus menikah dengan orang lain selain dia, tapi Adelin tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin ini memang jalan yang Tuhan gariskan untuk hubungan mereka berdua.
            “Del! Kenapa kamu jadi berfikiran picis seperti ini sih!? Memang keluargaku terlalu angkuh memandang derajat dalam status sosial seseorang, tapi aku ngga! Kalau aku memandang seseorang dari status sosial, dari dulu mungkin aku ga akan bergaul dengan kamu dan bahkan milih kamu sebagai pacarku. Ga akan, Del! Kita bisa ngelakuin hal yang sering dilakukan pasangan lain jia hubngan mereka ga mendapat resu dari orang tuanya. Kawin lari! Kita bisa pakai wali hakim untuk menikahkan kita!”
            “DEO! Jangan gila kamu! Jangan karena hal seperti ini fikiran kamu jadi buta! Kamu ingat, De, restu orang tua lebih penting dari segalanya. Karena restu orang tua adalah restu Tuhan! Kita ga akan pernah bahagia tanpa restu mereka. Istigfhar, De!” bentak, Adelin. Deo tertegun dengan ucapan yang di lontarkan Adelin kepadanya. Hujan mulai membasahi halaman rumah Adelin dan segala yang ada dibumi. Suasana terasa hangat akibat ketegangan yang diciptakan Adelin dan Deo, mengalahkan dinginnya hujan.
            “Kenapa kamu ga ngelarang aku sama sekali, Del? Kenapa kamu ga cegah aku? Kenapa justru kata-kata seperti tadi yang keluar dari bibirmu? Kenapa, Del? Apa artinya hubungan 6 tahun kita selama ini? Kamu masih sayang sama aku kan, Del? Apa kamu bahagia melihat aku bersanding dengan wanita lain selain kamu!?” Deo semakin tidak bisa terkendali. Dia tidak menyangka akan seperti ini. Awalnya, dia berharap kalau Adelin tidak akan rela dengan pernikahannya dengan anak rekan bisnis ayahnya dan mencoba melakukan sesuatu untuk mencegahnya, tapi ternyata harapan hanya tinggal harapan. Adelin justru memberikan argumen yang merujuk untuk merelakan Deo menikahi wanita pilihan keluarganya.
            “Insya Allah, aku akan bahagia selama orang yang aku sayang bahagia. Walaupun orang yang aku sayang akan berbahagia dengan orang lain, bukan denganku. Dalam setiap hubungan, bukannya harus ada pengorbanan? Dan mungkin ini pengorbanan ku terhadap hubungan kita ini... Hujan! Langit udah semakin gelap. Lebih baik kamu kembali kerumah, orang tua kamu pasti khawatir. Maafkan aku, De.” Adelin segera beranjak dari teras meninggalkan Deo dan masuk kedalam rumah. Sedangkan Deo, masih duduk terdiam menatap hujan di teras rumah Adelin. Fikirannya liar tak tentu arah. Deo masih tidak menyangka Adelin akan merelakannya bersanding dengan wanita lain.
            Adelin memandanginya dari jendela, kini pelpuknya tak sanggup lagi menahan genangan yang sedari tadi ia tahan. Deras tangis Adelin sama seperti derasnya hujan yang turun sore itu di luar. Adelin terus memandangi Deo hingga akhirnya Deo beranjak dan mulai pergi meninggalkan teras rumah Adelin dan menghilang besama deraian hujan yang semakin lebat. Kini hubungannya dengan Deo benar-benar berakhir. Semoga kamu berbahagia dengannya, De. Lirih hati Adelin. Mungkin, Tuhan memang tidak mentakdirkan dirinya dengan Deo. Adelin yakin, dibalik ini semua pasti akan ada rencana yang lebih indah yang Tuhan persiapkan untuknya. Dari belakang ibunya mendekap hangat menenangkan hati Adelin yang saat itu benar-benar sangat kacau dan teriris.
            “Sabar ya ndo, sudah, Cep cep cep... kalau kalian memang berjodoh pasti akan ada jalannya untuk kalian kembali.”
***
            Pagi itu adalah hari yang sangat Adelin tunggu-tunggu. Karena hari ini adalah hari pengumuman seleksi beasiswanya ke Prancis. Bulan lalu Adelin mencoba mengikuti tes beasiswa S2 Bisnis di Prancis. Adelin sangat menginkan beasiswa tersebut. Dia menanti dengan setia di teras rumahnya berharap ada bapak-bapak berseragam orange yang mengantarkan surat yang sangat dinantikannya. Setengah hari dia menanti di teras, tapi tak kunjung datang. Sempat Adelin mulai merasa sedikit pesimis. Apakah berarti dirinya tidak lolos dan mendapat beasiswa ke Prancis? Padahal dia benar-benar sangat mengharapkannya.
            “Ndo, makan siang dulu. Mau sampai kapan nunggu terus disitu? Nanti kalau ada pak pos datang juga pasti bakalan ngetuk pintu rumah kita, ndo. Ayo makan siang dulu, nanti kamu sakit.” Bujuk ibunya dengan logat jawanya yang khas.
            “Iya bu. Nanti aku makan.”
            Waktu menunjukan pukul 16.30 dan tanpa sadar Adelin tertidur di teras rumahnya. Memang, dari pagi Adelin setia menanti di teras rumahnya dia tidak sedikit pun beranjak meninggalkan teras kecuali jika waktu sholat tiba. Dia akan masuk sebentar dan setelah sholat dia kembali lagi duduk menanti di kursi terasnya.
            “Assalamualaikum. Permisi...” Suara itu mengagetkan Adelin yang saat itu ketiduran diteras.
            “Waalaikumsalam. Pak pos!” Sambut Adelin girang. Akhirnya orang yang ditunggu-tungu dari pagi datang juga. Tukang pos menyerahkan 2 amplop coklat yang bertuliskan namanya. Satu dari alamat pihak yang menyediakan beasiswa dan satu lagi dari alamat yang sudah tidak asing lagi baginya. Adelin memutuskan untuk membuka pengumuman beasiswanya terlebih dahulu. Jantungnya seperti habis berlari marathon, keringat dingin pun mengalir membasahi tubuhnya. Iya tegang dengan hasil yang ada di dalam amplop itu. Bismillah.
            “Alhamdulillah. Ibuuuuuuu... Ibuuuuu aku diterima bu. Aku lulus seleksi beasiswanya bu.” Adelin berteriak bahagia dan langsung berlari menuju ibunya di dapur. Dia langsung menyerakan amlplop yang berisi pengumuman ke ibunya.
            “Selamat ya, ndo.” Ibunya memeluk Adelin erat. Mereka berdua menangis bahagia.
            “Tapi bu, kalau aku berangkat. Ibu sama siapa?”
            “Sudah, kamu ga usah khawatir, ndo. Sendirian juga ibu gpp ko, ibu wani.”
            “Bukan masalah wani atau ngga bu. Tapi... haa! Aku minta Akbar tinggal bareng ibu aja ya disini? Biar nanti aku yang bicara sama bude Ratna supaya Akbar gausah ngekos lagi dan bisa tinggal sama ibu. Gimana?”
            “Terserah kamu saja, ndo.”
            Tiba-tiba Adelin teringat dengan surat satunya yang dia tinggalkan diteras. Dia kembali ke teras dengan senyum yang terus mengembang dari bibirnya. Tapi seketika, senyumannya luntur setelah membaca nama pegirim surat satunya yang ternyata dari Deo. Dia membuka bungkusan coklat tersebut dan ternyata itu adalah undangan pernikahan Deo dengan Marsya. Anak rekan bisnis ayahnya Deo. Hati Adelin seolah mndapatkan tusukan yang bertubi-tubi. Hatinya sakit. Tapi, dia tidak boleh terus bersedih karena dulu juga dia yang mengijinkan dan merelakan Deo menikah dengan anak rekan bisnis ayahnya Deo. Adelin membuka dan membaca kapan pernikahan Deo akan dilangsungkan. Ada sedikit perasaan lega di hatinya. Karena ternyata, tanggal pernikahan Deo sama dengan tanggal keberangkatannya ke Prancis. Adelin lega, karena dia tidak harus lihat langsung orang yang sangat disayangnya bersanding dengan wanita yang bukan dirinya dipelaminan dan dia tidak harus berpura-pura tersenyum bahagia saat dia harus bersalaman dengan kedua pengantin diatas pelaminan. Dia tidak perlu membohongi dirinya.
***
            Dear, Deo.
                Selamat atas pernikananmu. Semoga menjadi keluarga yang berbahagia. Maaf, aku ga bisa hadir dalam acara ini. Mungkin saat kamu baca surat ini, aku sudah dalam perjalanan ke Prancis. Aku mendapat beasiswa studi S2 Bisnis disana. Cintai pasanganmu yang sekrang dengan tulus. Anggaplah pernikahanmu bukan sebuah perjodohan, jangan kamu jalankan kehidupanmu nanti dengan beban. Salam untuk pengantin wanita. Ucapkan selamat untuknya.

                                                                                                                                                                                                                                Salam, Adelin.

                Sebelum keberangkatannya ke Prancis, Adelin menuliskan sepucuk surat untuk Deo yang mewakili kehadirannya dalam pernikahan Deo. Adelin menitipkan suratnya kepada sahabat karibnya yang juga sahabat Deo, Rendy.
            “Gue tititp ini untuk Deo ya. Tolong sampein ke dia sebelum acara akad nikahnya. Gue ga bisa datang besok.”
            “Loh kenapa, Del? Bukan karena...”
            “Bukan ko. Gue dapat beasiswa S2 di Prancis. Dan besok gue harus berangkat.”
            “Wow, seamat ya. Berapa lama lo disana?”
            “Iya, thanks, Ren. Gue belum tau pasti. Mungkin sekitar 6 tahun gue baru balik lagi kesini.”
            “Hmm.. lama juga dong lo pergi. Yaudah, sukses ya disana!”
            “Aamiin. Gue balik dulu ya. Assalamualaikum.”
            “Waalaikumsalam. Hati-hati, Del.”
***
            “Adelin, nitipin surat ini untuk lo.”
            Deo segera membuka surat yang diberikan Rendy dengan seksama. Kaget, sedih, bahagia, campur aduk perasaan Deo saat itu. Dia kaget karena Adelin tidak pernah memberitahukan sebelumnya kalau dia akan ikut beasiswa ke Prancis. Sedih, karena Deo belum sempat mengucapkan selamat untuknya. Dan bahagia karena dia tidak perlu melihat hati wanita yang sangat ia cintai harus teriris sakit melihat dirinya bersanding di pelaminan dengan wanita selain Adelin.
            “Deo. Ayo! Akad nikah akan segera dimulai.” Tiba-tiba suara ibunya mengagetkan lamunannya. 5 menit lagi Deo akan berijab kabul didepan penghulu dan keluarga lainnya meminang seorang wanita pilihan orang tuanya. Deo harus berbesar hati dengan garis Tuhan yang ditakdirkan untuknya menikah dengan wanita selain Adelin. Dalam hatinya Dep berdoa agar Adelin selalu diberikan kebahagiaan dan perlindungan disana. Begitupun sebaliknya, di pesawat mata Adelin terpejam. Dalam hatinya berdoa agar acara pernikahan Deo berjalan lancar dan Deo bisa berbahagia dengan kehidupan barunya. Air matanya mengalir. Entah air mata kesedihan atau air mata kebahagiaan karena saat itu perasaannya campur aduk menjadi satu. Selamat. Lirih Adelin disela pejaman matanya.
***
6 Tahun kemudian.
            "Maaf pak, sepertinya saya tersasar... Kurang tau pak... Bisa minta tolong anak buah anda untuk menjemput saya?... Posisi saya sekarang ada di depan AlfaMart daerah Kebayoran Lama... Baik pa... Iya, baik... Terimakasih... Maaf sebelumnya."
            Setelah 6 tahun Adelin merantau di negara orang, akhirnya dia kembali ke tanah air. Sudah kurang lebih 2 minggu Adelin di Indonesia. Dulu, dia hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik miskin kini menjelma menjadi Adelin seorang pakar bisnis yang namanya sudah di kenal di dalam maupun luar negri. Karirnya sangat cemerlang. Tapi, walaupun Adelin sudah menjadi wanita sukses, Adelin masih tetap menjadi Adelin yang dulu. Dia tidak lupa dari siapa dia dilahirkan, darimana asalnya dulu, siapa teman-temannya dulu dia tidak pernah melupakannya sama sekali.
            Setelah kembalinya dia ke tanah air, Adelin langsung direkrut untuk menjadi rekan bisnis salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dia diminta untuk menangani proyek besar dari perusahaan tersebut. Dengan senang hati tentunya Adlin menerima tawaran tersebut. Tapi sayangnya, di hari pertamanya dia malah salah alamat dan entah di daerah mana dia sekarang. Untungnya si bos yang merekrut Adelin mengirim anak buahnya untuk menjemputnya, anak buahnya yang tak lain adalah Deo. Mantan kekasih Adelin 6 tahun yang lalu.
            "De, kamu tolong jemput Bu Adel di daerah Kebayoran Lama, dia tersesat. Tadi dia bilang dia berhenti di depan AlfaMart daerah situ. Kamu cari saja ya, kalau tidak salah mobilnya sedan Vios hitam."
            "Baik, om."
            Deo segera meluncur ketempat yang diberitahukan bosnya tadi. Bosnya adalah omnya Deo. Deo bekerja di salah satu perusahaan ayahnya yang di kelola oleh omnya saat itu. Deo lebih memilih satu kantor dengan omnya daripada harus satu kantor dengan ayahnya. Deo memang sedikit kurang akur dengan ayahnya. 15 menit kemudian Deo tiba di daerah yang di perintahkan omnya tadi, Deo memperlambat laju mobilnya sambil mencari alfamart dan mobil vios hitam.
            "Nah, itu dia!" Deo segera memarkirkan mobilnya di seberang alfamart dan turun mendekati mobil vios hitam yang parkir didepan alfamart tersebut. Deo mencoba mengetok kaca jendela sampai si empunya mobil menurunkan kacanya.
            "Ibu Adel?" tanya Deo ke wanita berambut panjang ikal dan pirang di depannya. Wanita tersebut mengenakan kacamata hitam. Beautiful. Gumam Deo dalam hatinya.
                "Iya, saya Adel." Adelin terdiam kaget karena dia melihat sosok seseorang yang 6 tahun lalu sangat ia sayang dan cintai sekarang ada dihadapannya. "Deo," Adelin melepas kacamata hitamnya dan Deo pun tak kalah kaget mendapati wanita yang pernah menjadi bagian dalam hidupnya yang dulu pergi ke Prancis saat pernikahannya dengan wanita lain sekarang berada tepan di depannya.
            "Adelin," 10 menit mereka saling melempar pandang tanpa sepatah kata yang keluar dari bibir masing-masing kecuali saling menyebutkan nama mereka.
            "Emm... Ayo, bawa aku ke kantormu sekarang. Aku udah telat." Adelin membuyarkan lamunan mereka berdua.
            "Oh, iya. Kamu ikutin mobilku, ya."
              Mereka segera melajukan kembali mobilnya menuju kantornya Deo. Sudah telat 1 jam akibat Adelin salah alamat. Setelah sampai, mereka berdua segera bergegas menuju ruang rapat. Pak Sihab, om Deo sudah menantinya dari tadi.
            "Baru 6 tahun saja udah lupa daerah Jakarta," Ledek Deo.
            Adelin hanya membalasnya dengan tertawa. Saat itu di lift hanya mereka berdua.
            "Gimana kabar kamu? Sudah sukses ya sekarang."
            "Yah, seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik aja. Berkat doamu juga aku bisa seperti ini sekarang."
            Pintu lift terbuka dan mereka berdua mempercepat langkahnya menuju ruang rapat yang sudah tertunda sejam lalu.
            "Maaf, pak. Saya tadi tersasar."
            "hahaha sudahlah tak apa. Maklum saja, kamu sudah lama meninggalkan tanah air dan merantau di negara orang. Itu sudah hal yang lumrah."
            "Terimakasih atas perhatiannya, pak."
            "Baiklah, rapat kita mulai sekarang."
            Pak Sihab langsung memulai rapat yang membahas tentang sektor baru yang sedang digarap perusahaannya yang saat itu Deo sebagai pemimpin rapat sekaligus penanggung jawab proyek baru ini. Kurang lebih 3 jam rapat berlangsung dengan lancar walah sedikit kendala di awal. Adelin langsung izin mengundurkan diri terlebih dahulu. Dia harus segera pulang karena tidak ingin melewatkan waktu makan malam bersama ibunya.
            Tapi tak disangka, mobil yang dibawa Adelin mogok. Terpaksa dia meninggalkan mobilnya di parkiran kantornya dan pulang dengan taksi. Tapi saat Adelin baru sampai di gerbang kantornya, Deo menawarkan untuk mengantar Adelin pulang kerumah.
              "Kemana mobilnya? Kok jalan?"
            "Iya aku tinggal. Mogok, De."
            "Mogok? Yaudah, bareng aku aja. Ayo!"
            "Ga usah repot, De. Aku naik taksi aja."
            "Gpp. Ayolah. Aku mau ngobrol2 sama kamu. Kan udah lama juga kita ga ketemu. Kamu ga kangen?"
            "haha apaan sih kamu, De. Baiklah karena kamu memaksa." Deo tersenyum bahagia karena Adelin mau ikut dengan mobilnya. Selama diperjalanan mereka memperbincangkan banyak hal. Sampai pada akhirnya Adelin menanyakan bagaimana hubungan Deo dengan istrinya sekarang.
            "Loh, De. Rumahku kan belok kiri. Ini kok?"
            "Sebentar, kok."
            "Mau kemana sih?" Deo hanya terdiam dan terus membawa laju mobilnya sampai berhenti di sebuah tempat pemakaman umum di Jakarta.
            "Loh, kita mau ngapain, De, sore-sore gini kamu bawa aku ke makam?"
            "Turun sebentar yuk," Deo mengajak Adelin untuk turun dan mengikuti langkah kakinya ke sebuah pusara yang rumputnya indah dan tertata dengan rapih.
            "Ini..."
            "Iya, ini pusara istri aku. Marsya. Dia meninggal setelah 2 tahun pernikahan kami."
            "De, maaf. Sebelumnya aku ga tau soal ini. Aku turut berduka cita."
            "Iya, gpp, Del. Makasih. Marsya belum sempat memberikan keturunan untuk keluargaku. Calon bayinya ikut meninggal."
            "De... Sabar ya. Marsya meninggal kenapa?"
            "Kecelakaan."
            "Sabar ya, De." Deo terus memandangi pusara istrinya. Walau dulu Deo menikah dengan Marsya tanpa didasari cinta sedikitpun, tapi perlahan rasa cinta dan sayang Deo ke Marsya mulai muncul walau disisi lain Deo masih sangat mencintai Adelin. Namun saat Marsya meninggal, Deolah orang yang sangat bersedih dengan kepergiannya. Bagaimana tidak? Marsya meninggal bersama dengan calon buah hatinya dan Marsya pergi disaat Deo mulai bisa mencintainya.
            "Yaudah. Pulang yuk. Hampir gelap."
            "ayo."
            Selama perjalanan pulang tak ada yang berani untuk memulai pembicaraan. Hanya hening yang terasa sampai mobil Deo berhenti di depan rumah Adelin.
            "Salam ya untuk mamahmu. Sampai ketemu besok." ujar Deo. Adelin hanya membalas dengan senyuman ringan dibibirnya. Baru saja Adelin menutup pintu mobil Deo, seorang anak perempuan dengan rambut di kucir kuda pada kedua sisinya langsung berteriak dan melompat girang kepelukan Adelin.
            "Bundaaaaaaaaaaa"
            "Heeey," Adelin mendaratkan sebuah kecupan sayang pada kening sang anak. Deo tetap terdiam melihatnya sambil berfikir siapa anak yang memanggil Adelin dengan sebutan bunda tadi. Anaknya? Artinya Adelin sudah menikah? Gumam Deo dalam hatinya. Difikirannya kini penuh dengan pertanyaan pertanyaan tentang anak kecil tadi. Biar besok saja dia tanyakan langsung pada Adelin di kantor.
***
            "Ommaaa... Ommma bunda pulang..." ucap sang anak kecil tadi sambil berlari kearah dapur memanggil omanya yang tak lain adalah ibunya Adelin.
            "Bu. Tadi aku diantar Deo."
            "Deo?"
            "Iya. Deo. Aku bertemu lagi. Dan ternyata sekarang aku kerja di kantor milik ayahnya Deo yang dikelola Omnya."
            "Lalu. Perasaan kamu gimana?"
            "Kaget. Dan... senang." senyuman merekah dari kedua bibir mungil Adelin. Dia merasa sangat bahagia bisa kembali dipertemukan dengan Deo.
            "Inget loh, ndo. Deo itu sekarang sudah beristri. Kamu jangan sampai mengacaukan keluarga barunya. Kasihan."
            "ya nggalah bu. Aku ya ga setega itu. Tapi bu, istrinya 2 tahun yang lalu meninggal. Dan tadi aku dibawa ke makam istrinya."
            "Innalillahi. Meninggal kenapa?"
            "Kecelakaan."
            "Bundaa.. Bunda temani aku mainnn.. Ayooo..." tiba-tiba rengekan si anak kecil tadi memotong perbincangan Adelin dengan Ibunya.
            "Iya, tapi bunda mandi dulu ya. Keila main sama oma dulu ya?" bujuk Adelin.
            "Yah bundaaa..."
            "Ayo sini, Keila main sama oma dulu yuk. Biar bundanya mandi dulu."
            "yaudah deh.." Keila langsung berlari kearah omanya dengan bibir yang maju 5 senti. Adelin langsung beranjak ke arah kamarnya untuk membasuh peluh yang dari pagi menempel di tubuhnya.
***
            "Del. Makan siang bareng yuk? Ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu."
            "Bentar ya, De. Sedikit lagi laporanku selesai. Kamu tunggu diruangan kamu aja. Nanti aku kesitu."
            "Baiklah."
            Deo masih terbayang dengan anak perempuan yang dilihatnya kemarin dirumah Adelin. Anak perempuan yang memanggil Adelin dengan panggilan Bunda. Hal tersebut terus membayang bayanginya. Dan sekarang Deo harus mendapatkan jawabannya langsung dari mulut Adelin. Setelah beberapa jam, akhirnya laporan yang sedang digarap Adelin selesai. Dia langsung beranjak menuju ruangan Deo.
            “De. Yuk!”
            Deo langsung mengikuti langkah Adelin dan berusaha mengejarnya agar langkah mereka sejajar.
            “Mau makan dimana? Pakai mobil gue aja kali ya?”
            “Terserah lo aja deh yang ngajak.”
            “Oke.”
            Deo membawa mobilnya melaju menuju restauran tempat biasa dia dan Adelin dulu menghabiskan waktu berdua. Tidak jauh, cukup ditempuh selama 10 menit dari tempat kerja mereka.
            “Mba! Chiken katsu ga pake mayonaise 2 minumnya jus strawberry 2.”
            “Hm.. kamu masih inget sama makanan favorite aku? Katsu tanpa mayonaise.”
            “Tentu”
            Banyak kenangan indah yang terbesit di relung fikiran mereka tentang tempat ini. Seolah masalalu memaksa mereka untuk kembali ke masa saat mereka masih bersama dan menghabiskan tawa canda di tempat ini.
            “Cukup banyak yang berbeda ya dengan tempat ini. Lebih bagus.”
            “Ya. Semua pasti melakukan perubahan menjadi lebih bagus. Baik itu manusia ataupun lainnya. Iya kan?”
            “Yes.”
            “Hm, Del. Ada yang ma aku tanyain sama kamu.”
            “Apa?”
            “Sekarang kamu sama siapa?”
            “Sama siapa? Sekarang ya aku lagi sama kamu, makan siang. Haha iya kan?”
            “hehe iya.. tapi maksud aku... kamu udah menikah?”
            Adelin agak kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan Deo. “Hm.. Belum. Kenapa?”
            “Belum?”
            “Iya.” Adelin mnjawab santai pertanyaan Deo sambil sesekali dia memainkan memutar-mutar sedotan dalam minmannya.
            “Hm.. lantas, kemarin saat aku nganter kamu pulang. Ada anak kecil yang lari kearah kamu dan memanggil kamu dengn sebutan, Bunda?”
            “Dia anak aku.”
            “Anak?” Deo merasa bingung dengan jawaban yang diberikan Adelin. Anak tapi tidak menikah? Lantas? Atau... banyak fikiran-fikiran negatif yang berkecamu dalam otaknya.
            “Dia memang anakku. Tapi, anak angkat.”
            “Anak angkat?”
            “Iya. Sebenarnya dia itu keponakan aku, tepatnya. Tapi kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Lalu aku berinisiatif untuk merawat dan mengangkatnya jadi anak aku.”
            “Oh.. begitu.” Tomi melepas nafas lega.
            “Kenapa? Kamu fikir itu anak hasil hbungan tanpa ikatan pernikahan? Gila!” Mereka tertawa berdua. Melanjutkan makan hingga tak terasa mereka sudah melewati batas istirahat kantornya. Mereka bergegas menghabiskan makan mereka dan kembali ke kantor.
***
            “Dari mana saja kalian berdua ini? Kalian tau kan jadwal makan siang kantor itu sampai jam berapa?” Tegur pak Sihab saat bertemu dengan Deo dan Adelin di lobbi kantor.
            “Maaf om, ini salah saya. Tadi saya ajak Adelin makan siang agak jauh dari sini. Dan kita keasikan ngobrol sampai lupa waktu. Sekali lagi saya dan mewakili Adelin minta maaf om.”
            “Baiklah, baiklah. Kalian jangan ulangi lagi. Mengerti? Sekarang kembali bekerja.”
            “Mengerti, om.. Pa.” jawab Deo dan Adelin bersamaan.
            “Oh iya, Del, saya tunggu kamu diruangan saya 15 menit lagi. Bawa laporanmu yang sudah digarap.”
            “Baik, Pa.”
            Ruangan Adelin dan Deo sama-sama berada di lantai 10. Hanya saja berbeda arah, ruangan Deo di arah kanan dari lift, sedangkan Adelin di arah kiri dari lift.
***
            Matanya sudah tidak bisa lagi dijak kompromi. Seperti ada maghnet di kedua pelupuknya yang saling tarik menarik. Berat. Namun, baru saja Adelin mencoba untuk memejamkan matanya, handphonenya berbunyi. 1 Received Message.

            From: Deo Hardian
                Besok malam, ada acara ga? Kita dinner. Bisa?
                Mata yang tadinya terasa begitu berat, seketika terbelalak setelah membaca sms dari Deo.
                To: Adelin Indah
                Bisa.
                From: Deo Hardian
                Oke. Aku jemput jam 8 ya. See you and selamat tidur. Good nite.
***
            “Mau kemana, Del? Cantik sekali.” Puji ibunya.
            “Deo ngajakin aku dinner bu. Keila udah tidur?”
            “Hmm sepertinya ada yang CLBK ya? Cinta Lama Belum Kelar. Hehe. udah tuh.”
            “Ah ibu...” Pipi Adelin yang putih bersih mendadak berubah menjadi semu merah. Ibunya berhasil membuat Adelin tersipu malu. Dari luar terdengar suara klakson mobil, Deo.
            “Biar aku yang buka!” Sahut Adelin girang. Malam ini Adelin seperti seseorang yang baru memenangkan undian. Bahagiaaaaaa sekali.
            “Assalamualaikum,” Sapa Deo mengetuk pintu rumah Adelin.
            “Waalaikumsalam,” Jawab Adelin dan ibunya berbarengan. Deo langsung bersalaman dan bertanya kabar ke ibunya Adelin.
            “Walaaah, tambah tampan aja ya kamu, De. Pangling ibu baru lihat lagi.”   
            “Hehe.. makasi bu. Del, siap?”
            “Siap,” jawab Adelin yakin dengan senyum yang terus mengembang dari bibirnya. Adelin dan Deo langsung berpamitan kepada ibunya Adelin. Malam ini, Deo telah menyiapkan kejutan spesial untuk Adelin. Dia telah mempersiapkannya dengan matang. Malam ini, Deo yakin akan melamar Adelin menjadi pasangan hidupnya. Saat-saat yang telah lama sekali dinanti Deo.
            “Kamu pake ini,” Deo menyodorkan sebuah sapu tangan untuk diikatkan di matanya Adelin.
            “Untuk apa, De?”
            “Pake aja. Atau sini aku pakein.” Senyum masih terus mngembang dari bibir, Deo sambil mengikatkan sapu tangan dimata Adelin. Dia berharap Adelin sangat menyukai malam ini, dan tentu saja Deo berharap Adelin menerima lamarannya. Deo menggandeng tangan Adelin dan menuntunnya kesebuah taman di belakang restauran. Disana terpasang ribuan lilin yang sengaja Deo tata khusus untuk Adelin. Suasana yang begitu romantis ditambah dengan sorot cahaya bulan purnama yang sangat terang memancarkan cahayanya seperti sebuah lampu sorot di panggung pertunjukan yang menyorot sang bintang utama dan bintang-bintang bertaburan liar di langit sana. Sangat indah dan romantis.
            “Aku buka ikatannya, tapi kamu harus tetap merem ya. Jangan dibuka dulu.”
            “Apaan sih emang, De?”
            “Oke, kamu boleh buka mata sekarang.”
            Adelin tertegun takjub melihat pemandangan yang sangat indah dihadapannya. Seperti dalam mimpi. Melihat sekeliling dengan wajah yang masih heran. “De, kamu yang buat semua ini?” tanya Adelin.
            “Iya. Kamu suka?”
            “Banget. Indah.”
            Deo mengeluarkan box kecil berwarna biru dari saku celananya. “Del, will you marry me?
            Adelin semakin kaget dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Deo. Tuhan. Mimpikah ini? Tanya Adelin dalam hati. Dia sangat kaget dan tidak percaya dengan malam ini. Dibawah sinar rembulan dan di sekeliling ribuan lilin yang menari meliuk-liukan pijarnya, Deo memintanya untuk menjadi pasangan hidupnya. Pelupuknya tak kuasa menahan air mata haru.
            “Del?”
            “De. Ini nyata? Atau aku hanya mimpi?”
            “Mungkin memang terlalu cepat. Kita baru bertemu lagi beberapa minggu belakangan ini. Kamu tau bagaimana perasaan aku saat aku kembali bertemu dangan kamu? Bahagia, Del. Sanagt bahagia. Aku ga mau kehilangan kamu lagi, Del. Cukup aku kehilangan kamu dulu. Sekarang, aku ingin kamu kembali keposisi kamu dulu. Menjadi pasanganku, dan sekarang aku memintamu untuk menjadi pasangan hidupku. Selamanya.”
            Air mata Adelin terus mengalir. Dia benar-benar tak menyangka bahwa akan terjadi hal seperti ini malam ini. Adelin bahagia, sangat sangat bahagia.
            “Aku berasa seperti mimpi, De.”
            “Ini nyata, Del.”
            “Boleh kamu kasih aku waktu?”
            “Baiklah. Aku juga gamau terlalu buru-buru dan seakan memaksa kamu. Kapanpun kamu akan kasih jawabannya, akan aku tunggu.”
            Mereka melanjutkan dengan brbincang-bincang dan mengenang masa lalu saat mereka mulai berpacaran kelas 2 SMA lalu hingga tragedi perjodohan Adelin dan Alm. Marsya. Tiba-tiba Adelin teringat dengan kedua orang tua Deo. Apa kedua orang tuanya masih tidak menyukai Adelin? Dia takut kejadian dulu kembali terulang. Saat kedua orang tua Deo menolak Deo bersanding dengannya.
            “De, gimana dengan orang tua kamu?”
            “Orang tuaku? Ga usah khawatir. Karena keuletan kamu dan kesuksesan kamu, kedua orang tuaku akhirnya setuju kalau aku kembali dengan kamu. Om ku, bos kita selalu melaporkan perkembangan dan prestasi-prestasi keberhasilan kamu. Ayahku juga merasa beruntung salah satu perusahaannya bisa merekrut orang seperti kamu. Akhirnya mereka mendukungku 100% untuk bersanding dengan kamu. Sekarang, tinggal keputusan dari kamunya aja gimana.”
            Adelin tersenyum lega. Semoga yang tadi diomongkan Deo tentang kedua orangtuanya yang mulai setuju bila Deo kembali dengan Adelin itu memang benar adanya. Malam semakin larut. Deo mengantar Adelin pulang kerumahnya. Dalam perjalanan pulang, senyuman mereka berdua terus mengembang dari bibir masig-masing. Malam ini malam yang sangat indah dan sangat bahagia. Walau hati Deo masih merasa getir, takut jawaban yang keluar dari mulut Adelin nanti jawaban yang tak ingin Deo dengar sama sekali namun Deo merasa lega dan sangat bahagia.
***
            Satu bulan berlalu, namun Adelin tak kunjung memberikan jawaban tentang pinangan Deo bulan lalu. Adelin masih merasa bimbang dan ragu.
            “Bu, menurut ibu gimana dengan pinangan Deo? Aku bingung.”
            “Bingung gimana lagi toh, ndo?”
            Adelin hanya terdiam sambil menatap kotak cincin yang diberikan Deo bulan lalu.
            “Ndo, apa kamu tidak bisa membaca pertanda yang Tuhan berikan tentang semua ini? 6 tahun lamanya kalian terpisah, Deo menikah dengan wanita lain dan kamu meneruskan study kamu ke Prancis. Tapi setelah 2 tahun pernikahan Deo dengan istrinya, Tuhan mengambil istriya lebih dulu kembali kepangkuan Ilahi. Dan saat kamu kembali ke Indnesia, kamu kembali dipertemukan dengan Deo di satu perusahaan yang sama. Wallahualam, entah ini merupakan tanda bahwa kalian berjodoh atau bukan. Tapi, bukankah ini yang selama ini kamu harapkan, ndo? Bersanding dengan Deo dalam satu pelaminan pernikahan suci? Kamu ingat ndo ucapan ibu dulu? Kalau memang kalian berjodoh, tidak akan kemana.”
            Adelin masih saja terdiam. Fikirannya mulai liar memikirkan sesuatu tentang ucapan ibunya tadi. Benarkah ini semua pertanda bahwa Adelin dan Deo memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama? Adelin langsung meraih handphonenya yang dia taruh di atas meja makan. Jemarinya yang lentik mengarahkan kursor trackpadnya ke nomor Deo.
            To: Deo Hardian
De, kamu sibuk ga? Aku tunggu di restauran yang biasa kita datengin ya. Sekarang aku lagi mau otw kesana.
            Deo yang siang itu hendak mencoba memejamkan matanya menyadari handphonnya yang bergetar diatas meja lampu samping tempat tidurnya. 1 Received Message, Adelin Indah.
Deo langsung bergegas ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelah itu dia langsung meraih kunci mobilnya di samping meja TV kamarnya dan langsung membawa mobilnya meluncur ke tepat Adelin menunggu.
            “Hey.” Sapa Deo.
            “Hey.” Balas Adelin dengan senyuman khasnya yang selalu menampilkan lekukan pada kedua pipinya.
            “Udah lama? Dadakan banget, Del. Ada apa?”
            Adelin menyodorkan kotak cincin warna biru yang diberikan Deo bulan lalu. Deo kaget. Entah apa maksud Adelin mengebalikan cincin yang dia berikan saat dia melamar Adelin.
            “Maaf, terlalu lama buat kamu menunggu jawaban dari aku. Aku bingung.”
            “Bingung?”
            “Mungkin saat kamu melamarku bulan lalu, aku rasa itu masih terlalu cepat. Baru beberapa minggu kita kembali bertemu dan kamu lanngsung melamarku.”
            “Tapi kita udah kenal lama kan? Dulu kita juga punya hubungan, sangat lama. Aku tahu kamu, dan kamu tahu aku.”
            “Iya memang. Kita udah lama saling kenal. Kita juga pernah pacaran untuk waktu yang sangat lama. Tapi setelah itu kita juga terpisah untuk waktu yang sangat lama. Aku...”
            “Oke, aku ngerti maksud kamu. Jujur, awal pernikahan aku dengan Alm. Marsya memang tidak aku dasari dengan cinta. Tapi perlahan aku mulai merasa nyaman dan sayang sama istri aku. Tapi asal kamu tahu, jauh dilubuk hati aku yang paling dalam, nama kamu selalu melekat, Del. Perasaan sayang dan cintaku masih lbih besar untuk kamu.”
            Keduanya terdiam cukup lama.
            “Boleh aku kemakam istri mu, De? Aku ingin bicara sesuatu dengannya.”
            “Hm.. baiklah.”
            Tak lama mereka beranjak mninggalkan restauran tersebut dan langsung menuju makam istri Deo. Selama perjalanan mereka berdua terdiam. Tidak ada yang mencoba untuk memulai pembicaraan hingga sampai dimakam.
            “Hai, aku datang. Kamu baik-baik aja kan? Sya, kamu masih ingat dengan Adelin? Kami bertemu lagi. Dan sekarang Adelin ada disini bersamaku. Dia mau bicara sesuatu sama kamu.” Ucap Deo.
            “Hai, Sya. Aku Adelin. Dulu saat aku mendengar dari mulut Deo langsung bahwa dia akan bersanding dengan mu di pelaminan, rasanya sangat sangat memilukan. Terasa seperti teriris pisau. Tapi yasudahlah. Demi kebahagian Deo, aku merelakannya. Maaf saat pernikahan kalian aku tidak hadir. Bukan karena aku tidak ingin melihat kebahagiaan kalian, tapi kebetulan pernikahan kalian bertepatan dengan keberangkatan aku ke Prancis. Dan keberangkataku tidak bisa ditunda. 6 tahun lamanya aku merantau disana dan terpisah dari Deo, tapi akhirnya aku dipertemukan kembali dengan Deo. Entah apakah ini pertanda dari Tuhan bahwa aku digariskan utuk kembali dengan Deo. Aku tidak tahu. Sya, aku.. boleh aku menggantikan posisimu sebagai pendamping hidup Deo?”
            Deo terhentak kaget mendengar pernyataan Adelin tadi.
            “Del, ka.. kamu...”
            “Aku mau jadi pendamping hidup kamu, De.”
            “Sssee.. se..serius?”
            Adelin mengangguk yakin. Deo langsung meraih kotak cincin dari dalam saku celana dan langsung memasangkan cincin di jari manis tangan kanan Adelin. Hari ini benar benar hari yang sangat membahagiakan bagi mereka berdua. 2 hati yang sempat lama terpisah, akhirnya kini kembali dipersatukan. Memang benar kata pepatah, kalau memang jodoh tidak akan kemana. Bagaimana pun rintangan dan halangan yang mereka lalui, namun jika mereka memang digariskan untuk bersama tidak ada yang bisa menolaknya. Semoga kebahagiaan mereka terus berkelanjutan.
---END---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar