Jumat, 10 Mei 2013

CERPEN: Kedai Jawa dan Kamu

"Hingga detik ini, aku masih menyukai bagaimana indahnya suasana hujan dimalam hari dengan ditemani alunan merdu gamelan. Ya, Hingga detik ini ternyata aku masih saja menyukai secangkir cokelat panas tanpa gula. Aku pun masih menyukai berada dimeja paling tengah kedai kopi ala jawa ini. Tidak hanya itu, mataku pun masih suka menikmati lukisan-lukisan cantik yang tertata agak sedikit kurang pas dengan ruangan yang tersedia.

Apakah tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis, meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.

Sekalipun dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini. Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.

Ada kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini, tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai, bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.

Banyak. Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu. Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat romantis darimu.

Kehilangan? Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Tidak ada.

Kau masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa membohongi perasaanku.

Membohongi bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku, bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.

Jika handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau kita.

Kembali ke kedai jawa dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini kembali. Sesak.

Bahagia dirimu dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan dia, calon imam masa depanku, semoga."

Sandria menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan segala kenangannya.


Jumat, 10 Mei 2013

CERPEN: Kedai Jawa dan Kamu

"Hingga detik ini, aku masih menyukai bagaimana indahnya suasana hujan dimalam hari dengan ditemani alunan merdu gamelan. Ya, Hingga detik ini ternyata aku masih saja menyukai secangkir cokelat panas tanpa gula. Aku pun masih menyukai berada dimeja paling tengah kedai kopi ala jawa ini. Tidak hanya itu, mataku pun masih suka menikmati lukisan-lukisan cantik yang tertata agak sedikit kurang pas dengan ruangan yang tersedia.

Apakah tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis, meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.

Sekalipun dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini. Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.

Ada kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini, tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai, bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.

Banyak. Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu. Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat romantis darimu.

Kehilangan? Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Tidak ada.

Kau masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa membohongi perasaanku.

Membohongi bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku, bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.

Jika handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau kita.

Kembali ke kedai jawa dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini kembali. Sesak.

Bahagia dirimu dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan dia, calon imam masa depanku, semoga."

Sandria menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan segala kenangannya.