"Hingga detik ini, aku masih menyukai bagaimana indahnya suasana
hujan dimalam hari dengan ditemani alunan merdu gamelan. Ya, Hingga
detik ini ternyata aku masih saja menyukai secangkir cokelat panas tanpa
gula. Aku pun masih menyukai berada dimeja paling tengah kedai kopi ala
jawa ini. Tidak hanya itu, mataku pun masih suka menikmati
lukisan-lukisan cantik yang tertata agak sedikit kurang pas dengan
ruangan yang tersedia.
Apakah
tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada
yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis,
meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas
tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.
Sekalipun
dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh
derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini.
Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati
lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi
sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam
ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.
Ada
kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun
sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang
sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah
dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar
kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini,
tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai,
bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.
Banyak.
Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang
drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di
kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu.
Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok
dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat
romantis darimu.
Kehilangan?
Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada
yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah
perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan
seperti itu. Tidak ada.
Kau
masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu
pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku
lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati
pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan
aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh
menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku
sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku
itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa
membohongi perasaanku.
Membohongi
bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku,
bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan
wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita
kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul
biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.
Jika
handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih
dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima
pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau
hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau
kita.
Kembali ke kedai jawa
dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan
magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan
lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di
sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa
rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini
kembali. Sesak.
Bahagia dirimu
dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak
berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku
merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku
sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan
dia, calon imam masa depanku, semoga."
Sandria
menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir
cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan
segala kenangannya.
Here I changed everything I thought became a story that you could enjoy with peaceful.
Jumat, 10 Mei 2013
Langganan:
Postingan (Atom)
Jumat, 10 Mei 2013
CERPEN: Kedai Jawa dan Kamu
"Hingga detik ini, aku masih menyukai bagaimana indahnya suasana
hujan dimalam hari dengan ditemani alunan merdu gamelan. Ya, Hingga
detik ini ternyata aku masih saja menyukai secangkir cokelat panas tanpa
gula. Aku pun masih menyukai berada dimeja paling tengah kedai kopi ala
jawa ini. Tidak hanya itu, mataku pun masih suka menikmati
lukisan-lukisan cantik yang tertata agak sedikit kurang pas dengan
ruangan yang tersedia.
Apakah tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis, meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.
Sekalipun dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini. Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.
Ada kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini, tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai, bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.
Banyak. Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu. Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat romantis darimu.
Kehilangan? Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Tidak ada.
Kau masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa membohongi perasaanku.
Membohongi bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku, bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.
Jika handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau kita.
Kembali ke kedai jawa dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini kembali. Sesak.
Bahagia dirimu dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan dia, calon imam masa depanku, semoga."
Sandria menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan segala kenangannya.
Apakah tidak bosan? Tidak. Aku akan jawab dengan mantap jika memang benar ada yang mempertanyakan kepadaku seperti itu. Suasana yang tetap romantis, meskipun sekarang aku hanya menikmatinya dengan secangkir cokelat panas tok. Tanpa ada teman berbincang, tanpa ada kamu atau siapapun.
Sekalipun dekorasi dan tata ruang kedai jawa ini berubah seratus delapan puluh derajat. Aku masih tetap konsisten menyukai kebiasaanku di kedai ini. Menikmati secangkir cokelat panas tanpa gula, rinai hujan, menikmati lukisan, dan gamelan. Walaupun sekarang gamelan itu tak berbunyi sesering dulu saat aku masih bersamamu. Entah sudah hitungan sabtu malam ke berapa, gamelan tetap tak bersuara ditempatnya.
Ada kebiasaan baru yang aku nikmati di kedai ini, melamun. Ya, melamun sambil melihat lalu lalang kendaraan selepas senja. Kedai ini memang sudah tak tertutup lagi seperti dulu. Pemilik kedai benar-benar merubah dari konsep family atmosphere ke public atmosphere. Orang-orang di luar kedai bisa langsung dengan jelas melihat siapa dan ada apa di kedai ini, tanpa ada bilik penghalang seperti dulu. Begitupun pengunjung kedai, bisa melihat langsung kesemrawutan jalan Kartini.
Banyak. Banyak sekali yang berubah, seperti aku merasakan perubahan yang drastis dari dirimu. Kamu yang sempat menjadi teman berbincangku di kedai ini. Tepat setelah perbincangan tentang keberpihakan, sore itu. Aku tidak lagi merasakan kehadiranmu. Kehangatanmu. Entah berupa sosok dirimu dihadapanku, tatapan mata kecilmu atau berupa pesan singkat romantis darimu.
Kehilangan? Mungkin saja. Aku tidak begitu paham tentang ini. Biasanya selalu ada yang memanggilku si gadis dengan mata hitam sempurna. Hanya saja setelah perbincangan sore itu, tak ada lagi yang memanggilku dengan sebutan seperti itu. Tidak ada.
Kau masih menaruh asa terhadapnya? Tidak tahu, mungkin saja iya. Tapi, itu pun jika kamu tidak sedang berstatus dengan siapa-siapa. Sekarang, aku lebih memilih mengubur asa daripada harus membuat cerita diatas cerita.
"Hati pun harus memiliki keberpihakan, keberpihakan itu harus memilih. Dan aku lebih memilih berhenti dari cerita ini agar tak lebih jauh menyakiti. Menyakiti perasaan sendiri dan perasaan wanitamu." ucapku sore itu.
Aku masih suka terkekeh jika mengingat ucapanku itu. Terkekeh bangga. Ya, sangat bangga. Kenapa? Karena aku bisa membohongi perasaanku.
Membohongi bahwa aku rela mengambil keputusan seperti itu. Membohongi perasaanku, bahwa aku rela melepasmu dan membiarkan dirimu tetap bertahan dengan wanitamu. Saat itu, sejujurnya aku pura-pura ikhlas. Bahkan jika kita kembali bertatap muka dalam satu forum atau hanya sekedar berkumpul biasa, aku masih berpura-pura untuk bisa biasa terhadapnya.
Jika handphoneku pun berdering karena pesan singkat darimu, aku akan masih dan tetap membohongi diriku bahwa aku bisa pura-pura biasa saat menerima pesanmu. Padahal, sesungguhnya aku bahagia menerima pesan darimu walau hanya sekedar bertanya pertanyaan yang tak ada hubungannya denganku atau kita.
Kembali ke kedai jawa dibilangan Kartini. Kedai yang entah kurasakan seperti memiliki medan magnet yang membuatku tak hentinya tertarik untuk datang lagi, lagi, dan lagi. Meski terdapat banyak hal yang bisa mengingatkan aku tentangmu di sini. Bukan rasa sakit saat aku mengingat semuanya. Melainkan rasa rindu yang tak dapat lagi tersampaikan jika aku mengunjungi kedai ini kembali. Sesak.
Bahagia dirimu dengan wanitamu. Aku mendoakan yang terbaik. Kali ini aku tidak berbohong untuk mendoakan yang terbaik untukmu dan wanitamu. Aku merelakannya sekarang. Karena kini aku telah menemukan kebahagiaanku sendiri. Lepas dari bahagiaku bersamamu. Aku sekarang telah menemukan dia, calon imam masa depanku, semoga."
Sandria menutup diary kecilnya seraya tersenyum lega. Dia teguk secangkir cokelat panas terakhirnya dan berlalu meninggalkan kedai jawa dengan segala kenangannya.
Langganan:
Postingan (Atom)