Pengorbanan
sejati adalah saat dimana kita merelakan seseorang yang sangat kita sayang dan
cintai berbahagia dengan orang lain yang menjadi pilihan hidupnya. Melihat
orang yang kita sayang dan cintai hidup bersama dengan orang selain kita.
Itulah arti pengorbanan sejati menurut saya. Berlapang dada menerima garis
Tuhan yang telah di takdirkan untuk kita. Sama halnya seprti yang di alami
Adelin. Bertahun-tahun dia menjalani hubungan dengan prianya, Deo. Tetapi
akhirnya Adelin harus menerima kenyataan bahwa Deo akhirnya memilih untuk
melanjutkan hidupnya dengan wanita pilihan orang tuanya. Adelin hanya seorang
anak dari pasangan buruh pabrik yang penghasilannya hanya pas untuk memenuhi
kebutuhan perut keluarganya sehari-hari. Ayahnya meninggal saat dia duduk
dibangku kelas 3 SMP. Beruntung, selama Adelin menduduki bangku pendidikan, dia
selalu berprestasi dan selalu mendapatkan beasiswa. Sehingga orang tuanya, yang
kini hanya tinggal ibunya saja, tak perlu pusing lagi memikirkan biaya
pendidikan anak satu-satunya itu. Itu alasannya mengapa orang tua Deo tidak
memberikan restu kepada hubungan mereka. Deo adalah anak seorang pengusaha
ternama di Jakarta. Dan orang tua Deo sama sekali tidak merestui hubungannya
dengan Adelin yang hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik miskin, orang
tua Deo menginginkan setelah Deo wisuda, agar menikah dengan rekan bisnis
ayahnya. Semula Deo sangat menentang keras keinginan orang tuanya, tetapi
setelah Deo bertemu dan menceritakan apa yang terjadi kepada Adelin dan
mendapatkan respon yang jauh dengan harapannya, Deo akhirnya mengikuti
keinginan kedua orang tuanya untuk menikah dengan anak dari rekan bisnis
ayahnya itu.
“Tak ada yang perlu dipertahankan
lagi, De.” Lirih Adelin.
“Apa? Ga ada? Lantas, kamu rela gitu
aja aku menikah dengan wanita lain, Del!”
“Aku harus gimana? Apa yang harus
aku lakukan, De? Yang pernah orang tua kamu katakan dulu memang benar, aku
hanya seorang anak dari pasangan buruh pabrik yang miskin. Sedangkan keluarga
kamu? Keluarga kamu dari kalangan yang terpandang dan terhormat. Pengusaha
nomor satu di Jakarta. Kamu kaya raya. Keluargaku tak pantas bila harus bersanding
dengan keluarga kamu, De! Dan satu hal, restu orang tua itu lebih penting dari
segalanya!” Ucap Adelin dengan sekuat tenaga menahan tangis yang hendak
menjebol pelupuknya. Dia tak ingin menangis dihadapan Deo. Walaupun dalam hati
Adelin sebenarnya sangat kacau, dia tidak rela kalau memang Deo harus menikah
dengan orang lain selain dia, tapi Adelin tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mungkin
ini memang jalan yang Tuhan gariskan untuk hubungan mereka berdua.
“Del! Kenapa kamu jadi berfikiran
picis seperti ini sih!? Memang keluargaku terlalu angkuh memandang derajat
dalam status sosial seseorang, tapi aku ngga! Kalau aku memandang seseorang
dari status sosial, dari dulu mungkin aku ga akan bergaul dengan kamu dan
bahkan milih kamu sebagai pacarku. Ga akan, Del! Kita bisa ngelakuin hal yang
sering dilakukan pasangan lain jia hubngan mereka ga mendapat resu dari orang
tuanya. Kawin lari! Kita bisa pakai wali hakim untuk menikahkan kita!”
“DEO! Jangan gila kamu! Jangan karena
hal seperti ini fikiran kamu jadi buta! Kamu ingat, De, restu orang tua lebih
penting dari segalanya. Karena restu orang tua adalah restu Tuhan! Kita ga akan
pernah bahagia tanpa restu mereka. Istigfhar, De!” bentak, Adelin. Deo tertegun
dengan ucapan yang di lontarkan Adelin kepadanya. Hujan mulai membasahi halaman
rumah Adelin dan segala yang ada dibumi. Suasana terasa hangat akibat
ketegangan yang diciptakan Adelin dan Deo, mengalahkan dinginnya hujan.
“Kenapa kamu ga ngelarang aku sama
sekali, Del? Kenapa kamu ga cegah aku? Kenapa justru kata-kata seperti tadi
yang keluar dari bibirmu? Kenapa, Del? Apa artinya hubungan 6 tahun kita selama
ini? Kamu masih sayang sama aku kan, Del? Apa kamu bahagia melihat aku bersanding
dengan wanita lain selain kamu!?” Deo semakin tidak bisa terkendali. Dia tidak
menyangka akan seperti ini. Awalnya, dia berharap kalau Adelin tidak akan rela
dengan pernikahannya dengan anak rekan bisnis ayahnya dan mencoba melakukan
sesuatu untuk mencegahnya, tapi ternyata harapan hanya tinggal harapan. Adelin
justru memberikan argumen yang merujuk untuk merelakan Deo menikahi wanita
pilihan keluarganya.
“Insya Allah, aku akan bahagia
selama orang yang aku sayang bahagia. Walaupun orang yang aku sayang akan
berbahagia dengan orang lain, bukan denganku. Dalam setiap hubungan, bukannya
harus ada pengorbanan? Dan mungkin ini pengorbanan ku terhadap hubungan kita
ini... Hujan! Langit udah semakin gelap. Lebih baik kamu kembali kerumah, orang
tua kamu pasti khawatir. Maafkan aku, De.” Adelin segera beranjak dari teras
meninggalkan Deo dan masuk kedalam rumah. Sedangkan Deo, masih duduk terdiam menatap
hujan di teras rumah Adelin. Fikirannya liar tak tentu arah. Deo masih tidak
menyangka Adelin akan merelakannya bersanding dengan wanita lain.
Adelin memandanginya dari jendela,
kini pelpuknya tak sanggup lagi menahan genangan yang sedari tadi ia tahan.
Deras tangis Adelin sama seperti derasnya hujan yang turun sore itu di luar.
Adelin terus memandangi Deo hingga akhirnya Deo beranjak dan mulai pergi meninggalkan
teras rumah Adelin dan menghilang besama deraian hujan yang semakin lebat. Kini
hubungannya dengan Deo benar-benar berakhir. Semoga kamu berbahagia dengannya, De. Lirih hati Adelin. Mungkin,
Tuhan memang tidak mentakdirkan dirinya dengan Deo. Adelin yakin, dibalik ini
semua pasti akan ada rencana yang lebih indah yang Tuhan persiapkan untuknya.
Dari belakang ibunya mendekap hangat menenangkan hati Adelin yang saat itu
benar-benar sangat kacau dan teriris.
“Sabar ya ndo, sudah, Cep cep cep...
kalau kalian memang berjodoh pasti akan ada jalannya untuk kalian kembali.”
***
Pagi itu adalah hari yang sangat Adelin
tunggu-tunggu. Karena hari ini adalah hari pengumuman seleksi beasiswanya ke Prancis. Bulan lalu Adelin mencoba
mengikuti tes beasiswa S2 Bisnis di Prancis.
Adelin sangat menginkan beasiswa tersebut. Dia menanti dengan setia di teras
rumahnya berharap ada bapak-bapak berseragam orange yang mengantarkan surat yang sangat dinantikannya. Setengah
hari dia menanti di teras, tapi tak kunjung datang. Sempat Adelin mulai merasa sedikit
pesimis. Apakah berarti dirinya tidak lolos dan mendapat beasiswa ke Prancis? Padahal dia benar-benar sangat
mengharapkannya.
“Ndo, makan siang dulu. Mau sampai
kapan nunggu terus disitu? Nanti kalau ada pak pos datang juga pasti bakalan
ngetuk pintu rumah kita, ndo. Ayo makan siang dulu, nanti kamu sakit.” Bujuk
ibunya dengan logat jawanya yang khas.
“Iya bu. Nanti aku makan.”
Waktu menunjukan pukul 16.30 dan
tanpa sadar Adelin tertidur di teras rumahnya. Memang, dari pagi Adelin setia
menanti di teras rumahnya dia tidak sedikit pun beranjak meninggalkan teras
kecuali jika waktu sholat tiba. Dia akan masuk sebentar dan setelah sholat dia
kembali lagi duduk menanti di kursi terasnya.
“Assalamualaikum. Permisi...” Suara
itu mengagetkan Adelin yang saat itu ketiduran diteras.
“Waalaikumsalam. Pak pos!” Sambut
Adelin girang. Akhirnya orang yang ditunggu-tungu dari pagi datang juga. Tukang
pos menyerahkan 2 amplop coklat yang bertuliskan namanya. Satu dari alamat
pihak yang menyediakan beasiswa dan satu lagi dari alamat yang sudah tidak
asing lagi baginya. Adelin memutuskan untuk membuka pengumuman beasiswanya
terlebih dahulu. Jantungnya seperti habis berlari marathon, keringat dingin pun
mengalir membasahi tubuhnya. Iya tegang dengan hasil yang ada di dalam amplop
itu. Bismillah.
“Alhamdulillah. Ibuuuuuuu... Ibuuuuu
aku diterima bu. Aku lulus seleksi beasiswanya bu.” Adelin berteriak bahagia
dan langsung berlari menuju ibunya di dapur. Dia langsung menyerakan amlplop
yang berisi pengumuman ke ibunya.
“Selamat ya, ndo.” Ibunya memeluk
Adelin erat. Mereka berdua menangis bahagia.
“Tapi bu, kalau aku berangkat. Ibu
sama siapa?”
“Sudah, kamu ga usah khawatir, ndo.
Sendirian juga ibu gpp ko, ibu wani.”
“Bukan masalah wani atau ngga bu.
Tapi... haa! Aku minta Akbar tinggal bareng ibu aja ya disini? Biar nanti aku
yang bicara sama bude Ratna supaya Akbar gausah ngekos lagi dan bisa tinggal
sama ibu. Gimana?”
“Terserah kamu saja, ndo.”
Tiba-tiba Adelin teringat dengan
surat satunya yang dia tinggalkan diteras. Dia kembali ke teras dengan senyum
yang terus mengembang dari bibirnya. Tapi seketika, senyumannya luntur setelah
membaca nama pegirim surat satunya yang ternyata dari Deo. Dia membuka bungkusan
coklat tersebut dan ternyata itu adalah undangan pernikahan Deo dengan Marsya.
Anak rekan bisnis ayahnya Deo. Hati Adelin seolah mndapatkan tusukan yang
bertubi-tubi. Hatinya sakit. Tapi, dia tidak boleh terus bersedih karena dulu
juga dia yang mengijinkan dan merelakan Deo menikah dengan anak rekan bisnis ayahnya
Deo. Adelin membuka dan membaca kapan pernikahan Deo akan dilangsungkan. Ada
sedikit perasaan lega di hatinya. Karena ternyata, tanggal pernikahan Deo sama
dengan tanggal keberangkatannya ke Prancis.
Adelin lega, karena dia tidak harus lihat langsung orang yang sangat
disayangnya bersanding dengan wanita yang bukan dirinya dipelaminan dan dia
tidak harus berpura-pura tersenyum bahagia saat dia harus bersalaman dengan
kedua pengantin diatas pelaminan. Dia tidak perlu membohongi dirinya.
***
Dear, Deo.
Selamat
atas pernikananmu. Semoga menjadi keluarga yang berbahagia. Maaf, aku ga bisa
hadir dalam acara ini. Mungkin saat kamu baca surat ini, aku sudah dalam
perjalanan ke Prancis. Aku mendapat beasiswa studi S2 Bisnis disana. Cintai
pasanganmu yang sekrang dengan tulus. Anggaplah pernikahanmu bukan sebuah
perjodohan, jangan kamu jalankan kehidupanmu nanti dengan beban. Salam untuk
pengantin wanita. Ucapkan selamat untuknya.
Salam, Adelin.
Sebelum
keberangkatannya ke Prancis, Adelin
menuliskan sepucuk surat untuk Deo yang mewakili kehadirannya dalam pernikahan
Deo. Adelin menitipkan suratnya kepada sahabat karibnya yang juga sahabat Deo,
Rendy.
“Gue tititp ini untuk Deo ya. Tolong
sampein ke dia sebelum acara akad nikahnya. Gue ga bisa datang besok.”
“Loh kenapa, Del? Bukan karena...”
“Bukan ko. Gue dapat beasiswa S2 di Prancis. Dan besok gue harus berangkat.”
“Wow, seamat ya. Berapa lama lo
disana?”
“Iya, thanks, Ren. Gue belum tau
pasti. Mungkin sekitar 6 tahun gue baru balik lagi kesini.”
“Hmm.. lama juga dong lo pergi. Yaudah,
sukses ya disana!”
“Aamiin. Gue balik dulu ya.
Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Hati-hati, Del.”
***
“Adelin, nitipin surat ini untuk
lo.”
Deo segera membuka surat yang
diberikan Rendy dengan seksama. Kaget, sedih, bahagia, campur aduk perasaan Deo
saat itu. Dia kaget karena Adelin tidak pernah memberitahukan sebelumnya kalau
dia akan ikut beasiswa ke Prancis.
Sedih, karena Deo belum sempat mengucapkan selamat untuknya. Dan bahagia karena
dia tidak perlu melihat hati wanita yang sangat ia cintai harus teriris sakit
melihat dirinya bersanding di pelaminan dengan wanita selain Adelin.
“Deo. Ayo! Akad nikah akan segera
dimulai.” Tiba-tiba suara ibunya mengagetkan lamunannya. 5 menit lagi Deo akan
berijab kabul didepan penghulu dan keluarga lainnya meminang seorang wanita
pilihan orang tuanya. Deo harus berbesar hati dengan garis Tuhan yang
ditakdirkan untuknya menikah dengan wanita selain Adelin. Dalam hatinya Dep
berdoa agar Adelin selalu diberikan kebahagiaan dan perlindungan disana.
Begitupun sebaliknya, di pesawat mata Adelin terpejam. Dalam hatinya berdoa
agar acara pernikahan Deo berjalan lancar dan Deo bisa berbahagia dengan kehidupan
barunya. Air matanya mengalir. Entah air mata kesedihan atau air mata
kebahagiaan karena saat itu perasaannya campur aduk menjadi satu. Selamat. Lirih Adelin disela pejaman
matanya.
***
6 Tahun kemudian.
"Maaf
pak, sepertinya saya tersasar... Kurang tau pak... Bisa minta tolong anak buah
anda untuk menjemput saya?... Posisi saya sekarang ada di depan AlfaMart daerah
Kebayoran Lama... Baik pa... Iya, baik... Terimakasih... Maaf sebelumnya."
Setelah
6 tahun Adelin merantau di negara orang, akhirnya dia kembali ke tanah air. Sudah
kurang lebih 2 minggu Adelin di Indonesia. Dulu, dia hanya seorang anak dari
pasangan buruh pabrik miskin kini menjelma menjadi Adelin seorang pakar bisnis
yang namanya sudah di kenal di dalam maupun luar negri. Karirnya sangat
cemerlang. Tapi, walaupun Adelin sudah menjadi wanita sukses, Adelin masih
tetap menjadi Adelin yang dulu. Dia tidak lupa dari siapa dia dilahirkan,
darimana asalnya dulu, siapa teman-temannya dulu dia tidak pernah melupakannya
sama sekali.
Setelah
kembalinya dia ke tanah air, Adelin langsung direkrut untuk menjadi rekan
bisnis salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dia diminta untuk menangani
proyek besar dari perusahaan tersebut. Dengan senang hati tentunya Adlin
menerima tawaran tersebut. Tapi sayangnya, di hari pertamanya dia malah salah
alamat dan entah di daerah mana dia sekarang. Untungnya si bos yang merekrut
Adelin mengirim anak buahnya untuk menjemputnya, anak buahnya yang tak lain
adalah Deo. Mantan kekasih Adelin 6 tahun yang lalu.
"De,
kamu tolong jemput Bu Adel di daerah Kebayoran Lama, dia tersesat. Tadi dia
bilang dia berhenti di depan AlfaMart daerah situ. Kamu cari saja ya, kalau
tidak salah mobilnya sedan Vios hitam."
"Baik,
om."
Deo
segera meluncur ketempat yang diberitahukan bosnya tadi. Bosnya adalah omnya
Deo. Deo bekerja di salah satu perusahaan ayahnya yang di kelola oleh omnya
saat itu. Deo lebih memilih satu kantor dengan omnya daripada harus satu kantor
dengan ayahnya. Deo memang sedikit kurang akur dengan ayahnya. 15 menit
kemudian Deo tiba di daerah yang di perintahkan omnya tadi, Deo memperlambat
laju mobilnya sambil mencari alfamart dan mobil vios hitam.
"Nah,
itu dia!" Deo segera memarkirkan mobilnya di seberang alfamart dan turun
mendekati mobil vios hitam yang parkir didepan alfamart tersebut. Deo mencoba
mengetok kaca jendela sampai si empunya mobil menurunkan kacanya.
"Ibu Adel?" tanya Deo ke wanita berambut panjang ikal dan pirang di
depannya. Wanita tersebut mengenakan kacamata hitam. Beautiful. Gumam Deo dalam hatinya.
"Iya, saya Adel." Adelin terdiam
kaget karena dia melihat sosok seseorang yang 6 tahun lalu sangat ia sayang dan
cintai sekarang ada dihadapannya. "Deo," Adelin melepas kacamata
hitamnya dan Deo pun tak kalah kaget mendapati wanita yang pernah menjadi
bagian dalam hidupnya yang dulu pergi ke Prancis
saat pernikahannya dengan wanita lain sekarang berada tepan di depannya.
"Adelin,"
10 menit mereka saling melempar pandang tanpa sepatah kata yang keluar dari
bibir masing-masing kecuali saling menyebutkan nama mereka.
"Emm... Ayo, bawa aku ke kantormu sekarang. Aku udah telat." Adelin
membuyarkan lamunan mereka berdua.
"Oh,
iya. Kamu ikutin mobilku, ya."
Mereka segera melajukan kembali mobilnya menuju kantornya Deo. Sudah telat 1
jam akibat Adelin salah alamat. Setelah sampai, mereka berdua segera bergegas
menuju ruang rapat. Pak Sihab, om Deo sudah menantinya dari tadi.
"Baru
6 tahun saja udah lupa daerah Jakarta," Ledek Deo.
Adelin
hanya membalasnya dengan tertawa. Saat itu di lift hanya mereka berdua.
"Gimana kabar kamu? Sudah sukses ya sekarang."
"Yah,
seperti yang kamu lihat sekarang. Aku baik-baik aja. Berkat doamu juga aku bisa
seperti ini sekarang."
Pintu
lift terbuka dan mereka berdua mempercepat langkahnya menuju ruang rapat yang
sudah tertunda sejam lalu.
"Maaf,
pak. Saya tadi tersasar."
"hahaha
sudahlah tak apa. Maklum saja, kamu sudah lama meninggalkan tanah air dan
merantau di negara orang. Itu sudah hal yang lumrah."
"Terimakasih
atas perhatiannya, pak."
"Baiklah,
rapat kita mulai sekarang."
Pak
Sihab langsung memulai rapat yang membahas tentang sektor baru yang sedang
digarap perusahaannya yang saat itu Deo sebagai pemimpin rapat sekaligus penanggung
jawab proyek baru ini. Kurang lebih 3 jam rapat berlangsung dengan lancar walah
sedikit kendala di awal. Adelin langsung izin mengundurkan diri terlebih
dahulu. Dia harus segera pulang karena tidak ingin melewatkan waktu makan malam
bersama ibunya.
Tapi
tak disangka, mobil yang dibawa Adelin mogok. Terpaksa dia meninggalkan
mobilnya di parkiran kantornya dan pulang dengan taksi. Tapi saat Adelin baru sampai
di gerbang kantornya, Deo menawarkan untuk mengantar Adelin pulang kerumah.
"Kemana mobilnya? Kok jalan?"
"Iya
aku tinggal. Mogok, De."
"Mogok?
Yaudah, bareng aku aja. Ayo!"
"Ga
usah repot, De. Aku naik taksi aja."
"Gpp.
Ayolah. Aku mau ngobrol2 sama kamu. Kan udah lama juga kita ga ketemu. Kamu ga
kangen?"
"haha
apaan sih kamu, De. Baiklah karena kamu memaksa." Deo tersenyum bahagia
karena Adelin mau ikut dengan mobilnya. Selama diperjalanan mereka
memperbincangkan banyak hal. Sampai pada akhirnya Adelin menanyakan bagaimana
hubungan Deo dengan istrinya sekarang.
"Loh,
De. Rumahku kan belok kiri. Ini kok?"
"Sebentar,
kok."
"Mau
kemana sih?" Deo hanya terdiam dan terus membawa laju mobilnya sampai
berhenti di sebuah tempat pemakaman umum di Jakarta.
"Loh,
kita mau ngapain, De, sore-sore gini kamu bawa aku ke makam?"
"Turun
sebentar yuk," Deo mengajak Adelin untuk turun dan mengikuti langkah
kakinya ke sebuah pusara yang rumputnya indah dan tertata dengan rapih.
"Ini..."
"Iya,
ini pusara istri aku. Marsya. Dia meninggal setelah 2 tahun pernikahan
kami."
"De,
maaf. Sebelumnya aku ga tau soal ini. Aku turut berduka cita."
"Iya,
gpp, Del. Makasih. Marsya belum sempat memberikan keturunan untuk keluargaku.
Calon bayinya ikut meninggal."
"De...
Sabar ya. Marsya meninggal kenapa?"
"Kecelakaan."
"Sabar
ya, De." Deo terus memandangi pusara istrinya. Walau dulu Deo menikah
dengan Marsya tanpa didasari cinta sedikitpun, tapi perlahan rasa cinta dan
sayang Deo ke Marsya mulai muncul walau disisi lain Deo masih sangat mencintai
Adelin. Namun saat Marsya meninggal, Deolah orang yang sangat bersedih dengan kepergiannya.
Bagaimana tidak? Marsya meninggal bersama dengan calon buah hatinya dan Marsya
pergi disaat Deo mulai bisa mencintainya.
"Yaudah.
Pulang yuk. Hampir gelap."
"ayo."
Selama
perjalanan pulang tak ada yang berani untuk memulai pembicaraan. Hanya hening
yang terasa sampai mobil Deo berhenti di depan rumah Adelin.
"Salam
ya untuk mamahmu. Sampai ketemu besok." ujar Deo. Adelin hanya membalas
dengan senyuman ringan dibibirnya. Baru saja Adelin menutup pintu mobil Deo,
seorang anak perempuan dengan rambut di kucir kuda pada kedua sisinya langsung
berteriak dan melompat girang kepelukan Adelin.
"Bundaaaaaaaaaaa"
"Heeey,"
Adelin mendaratkan sebuah kecupan sayang pada kening sang anak. Deo tetap
terdiam melihatnya sambil berfikir siapa anak yang memanggil Adelin dengan
sebutan bunda tadi. Anaknya? Artinya
Adelin sudah menikah? Gumam Deo dalam
hatinya. Difikirannya kini penuh dengan pertanyaan pertanyaan tentang anak
kecil tadi. Biar besok saja dia tanyakan langsung pada Adelin di kantor.
***
"Ommaaa...
Ommma bunda pulang..." ucap sang anak kecil tadi sambil berlari kearah
dapur memanggil omanya yang tak lain adalah ibunya Adelin.
"Bu.
Tadi aku diantar Deo."
"Deo?"
"Iya.
Deo. Aku bertemu lagi. Dan ternyata sekarang aku kerja di kantor milik ayahnya
Deo yang dikelola Omnya."
"Lalu.
Perasaan kamu gimana?"
"Kaget.
Dan... senang." senyuman merekah dari kedua bibir mungil Adelin. Dia
merasa sangat bahagia bisa kembali dipertemukan dengan Deo.
"Inget
loh, ndo. Deo itu sekarang sudah beristri. Kamu jangan sampai mengacaukan
keluarga barunya. Kasihan."
"ya
nggalah bu. Aku ya ga setega itu. Tapi bu, istrinya 2 tahun yang lalu
meninggal. Dan tadi aku dibawa ke makam istrinya."
"Innalillahi.
Meninggal kenapa?"
"Kecelakaan."
"Bundaa..
Bunda temani aku mainnn.. Ayooo..." tiba-tiba rengekan si anak kecil tadi
memotong perbincangan Adelin dengan Ibunya.
"Iya,
tapi bunda mandi dulu ya. Keila main sama oma dulu ya?" bujuk Adelin.
"Yah
bundaaa..."
"Ayo
sini, Keila main sama oma dulu yuk. Biar bundanya mandi dulu."
"yaudah
deh.." Keila langsung berlari kearah omanya dengan bibir yang maju 5 senti.
Adelin langsung beranjak ke arah kamarnya untuk membasuh peluh yang dari pagi
menempel di tubuhnya.
***
"Del.
Makan siang bareng yuk? Ada satu hal yang mau aku omongin sama kamu."
"Bentar
ya, De. Sedikit lagi laporanku selesai. Kamu tunggu diruangan kamu aja. Nanti
aku kesitu."
"Baiklah."
Deo
masih terbayang dengan anak perempuan yang dilihatnya kemarin dirumah Adelin. Anak perempuan
yang memanggil Adelin dengan panggilan Bunda. Hal tersebut terus membayang
bayanginya. Dan sekarang Deo harus mendapatkan jawabannya
langsung dari mulut Adelin. Setelah beberapa jam, akhirnya laporan yang sedang
digarap Adelin selesai. Dia langsung beranjak menuju ruangan Deo.
“De. Yuk!”
Deo langsung mengikuti langkah
Adelin dan berusaha mengejarnya agar langkah mereka sejajar.
“Mau makan dimana? Pakai mobil gue
aja kali ya?”
“Terserah lo aja deh yang ngajak.”
“Oke.”
Deo membawa mobilnya melaju menuju
restauran tempat biasa dia dan Adelin dulu menghabiskan waktu berdua. Tidak
jauh, cukup ditempuh selama 10 menit dari tempat kerja mereka.
“Mba! Chiken katsu ga pake mayonaise
2 minumnya jus strawberry 2.”
“Hm.. kamu masih inget sama makanan
favorite aku? Katsu tanpa mayonaise.”
“Tentu”
Banyak kenangan indah yang terbesit
di relung fikiran mereka tentang tempat ini. Seolah masalalu memaksa mereka
untuk kembali ke masa saat mereka masih bersama dan menghabiskan tawa canda di
tempat ini.
“Cukup banyak yang berbeda ya dengan
tempat ini. Lebih bagus.”
“Ya. Semua pasti melakukan perubahan
menjadi lebih bagus. Baik itu manusia ataupun lainnya. Iya kan?”
“Yes.”
“Hm, Del. Ada yang ma aku tanyain
sama kamu.”
“Apa?”
“Sekarang kamu sama siapa?”
“Sama siapa? Sekarang ya aku lagi
sama kamu, makan siang. Haha iya kan?”
“hehe iya.. tapi maksud aku... kamu
udah menikah?”
Adelin agak kaget mendengar
pertanyaan yang dilontarkan Deo. “Hm.. Belum. Kenapa?”
“Belum?”
“Iya.” Adelin mnjawab santai
pertanyaan Deo sambil sesekali dia memainkan memutar-mutar sedotan dalam
minmannya.
“Hm.. lantas, kemarin saat aku
nganter kamu pulang. Ada anak kecil yang lari kearah kamu dan memanggil kamu
dengn sebutan, Bunda?”
“Dia anak aku.”
“Anak?” Deo merasa bingung dengan
jawaban yang diberikan Adelin. Anak tapi tidak menikah? Lantas? Atau... banyak
fikiran-fikiran negatif yang berkecamu dalam otaknya.
“Dia memang anakku. Tapi, anak
angkat.”
“Anak angkat?”
“Iya. Sebenarnya dia itu keponakan
aku, tepatnya. Tapi kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Lalu aku
berinisiatif untuk merawat dan mengangkatnya jadi anak aku.”
“Oh.. begitu.” Tomi melepas nafas
lega.
“Kenapa? Kamu fikir itu anak hasil
hbungan tanpa ikatan pernikahan? Gila!” Mereka tertawa berdua. Melanjutkan
makan hingga tak terasa mereka sudah melewati batas istirahat kantornya. Mereka
bergegas menghabiskan makan mereka dan kembali ke kantor.
***
“Dari mana saja kalian berdua ini?
Kalian tau kan jadwal makan siang kantor itu sampai jam berapa?” Tegur pak
Sihab saat bertemu dengan Deo dan Adelin di lobbi kantor.
“Maaf om, ini salah saya. Tadi saya
ajak Adelin makan siang agak jauh dari sini. Dan kita keasikan ngobrol sampai
lupa waktu. Sekali lagi saya dan mewakili Adelin minta maaf om.”
“Baiklah, baiklah. Kalian jangan
ulangi lagi. Mengerti? Sekarang kembali bekerja.”
“Mengerti, om.. Pa.” jawab Deo dan
Adelin bersamaan.
“Oh iya, Del, saya tunggu kamu
diruangan saya 15 menit lagi. Bawa laporanmu yang sudah digarap.”
“Baik, Pa.”
Ruangan Adelin dan Deo sama-sama
berada di lantai 10. Hanya saja berbeda arah, ruangan Deo di arah kanan dari
lift, sedangkan Adelin di arah kiri dari lift.
***
Matanya sudah tidak bisa lagi dijak
kompromi. Seperti ada maghnet di kedua pelupuknya yang saling tarik menarik. Berat.
Namun, baru saja Adelin mencoba untuk memejamkan matanya, handphonenya
berbunyi. 1 Received Message.
From: Deo Hardian
Besok
malam, ada acara ga? Kita dinner. Bisa?
Mata
yang tadinya terasa begitu berat, seketika terbelalak setelah membaca sms dari
Deo.
To: Adelin Indah
Bisa.
From:
Deo Hardian
Oke.
Aku jemput jam 8 ya. See you and selamat tidur. Good nite.
***
“Mau kemana, Del? Cantik sekali.”
Puji ibunya.
“Deo ngajakin aku dinner bu. Keila
udah tidur?”
“Hmm sepertinya ada yang CLBK ya?
Cinta Lama Belum Kelar. Hehe. udah tuh.”
“Ah ibu...” Pipi Adelin yang putih
bersih mendadak berubah menjadi semu merah. Ibunya berhasil membuat Adelin
tersipu malu. Dari luar terdengar suara klakson mobil, Deo.
“Biar aku yang buka!” Sahut Adelin
girang. Malam ini Adelin seperti seseorang yang baru memenangkan undian.
Bahagiaaaaaa sekali.
“Assalamualaikum,” Sapa Deo mengetuk
pintu rumah Adelin.
“Waalaikumsalam,” Jawab Adelin dan
ibunya berbarengan. Deo langsung bersalaman dan bertanya kabar ke ibunya Adelin.
“Walaaah, tambah tampan aja ya kamu,
De. Pangling ibu baru lihat lagi.”
“Hehe.. makasi bu. Del, siap?”
“Siap,” jawab Adelin yakin dengan
senyum yang terus mengembang dari bibirnya. Adelin dan Deo langsung berpamitan
kepada ibunya Adelin. Malam ini, Deo telah menyiapkan kejutan spesial untuk
Adelin. Dia telah mempersiapkannya dengan matang. Malam ini, Deo yakin akan
melamar Adelin menjadi pasangan hidupnya. Saat-saat yang telah lama sekali
dinanti Deo.
“Kamu pake ini,” Deo menyodorkan
sebuah sapu tangan untuk diikatkan di matanya Adelin.
“Untuk apa, De?”
“Pake aja. Atau sini aku pakein.”
Senyum masih terus mngembang dari bibir, Deo sambil mengikatkan sapu tangan
dimata Adelin. Dia berharap Adelin sangat menyukai malam ini, dan tentu saja
Deo berharap Adelin menerima lamarannya. Deo menggandeng tangan Adelin dan
menuntunnya kesebuah taman di belakang restauran. Disana terpasang ribuan lilin
yang sengaja Deo tata khusus untuk Adelin. Suasana yang begitu romantis
ditambah dengan sorot cahaya bulan purnama yang sangat terang memancarkan
cahayanya seperti sebuah lampu sorot di panggung pertunjukan yang menyorot sang
bintang utama dan bintang-bintang bertaburan liar di langit sana. Sangat indah
dan romantis.
“Aku buka ikatannya, tapi kamu harus
tetap merem ya. Jangan dibuka dulu.”
“Apaan sih emang, De?”
“Oke, kamu boleh buka mata
sekarang.”
Adelin tertegun takjub melihat
pemandangan yang sangat indah dihadapannya. Seperti dalam mimpi. Melihat
sekeliling dengan wajah yang masih heran. “De, kamu yang buat semua ini?” tanya
Adelin.
“Iya. Kamu suka?”
“Banget. Indah.”
Deo mengeluarkan box kecil berwarna
biru dari saku celananya. “Del, will you
marry me?”
Adelin semakin kaget dengan ucapan
yang baru saja dilontarkan Deo. Tuhan.
Mimpikah ini? Tanya Adelin dalam hati. Dia sangat kaget dan tidak percaya
dengan malam ini. Dibawah sinar rembulan dan di sekeliling ribuan lilin yang
menari meliuk-liukan pijarnya, Deo memintanya untuk menjadi pasangan hidupnya.
Pelupuknya tak kuasa menahan air mata haru.
“Del?”
“De. Ini nyata? Atau aku hanya
mimpi?”
“Mungkin memang terlalu cepat. Kita
baru bertemu lagi beberapa minggu belakangan ini. Kamu tau bagaimana perasaan
aku saat aku kembali bertemu dangan kamu? Bahagia, Del. Sanagt bahagia. Aku ga
mau kehilangan kamu lagi, Del. Cukup aku kehilangan kamu dulu. Sekarang, aku
ingin kamu kembali keposisi kamu dulu. Menjadi pasanganku, dan sekarang aku
memintamu untuk menjadi pasangan hidupku. Selamanya.”
Air mata Adelin terus mengalir. Dia
benar-benar tak menyangka bahwa akan terjadi hal seperti ini malam ini. Adelin
bahagia, sangat sangat bahagia.
“Aku berasa seperti mimpi, De.”
“Ini nyata, Del.”
“Boleh kamu kasih aku waktu?”
“Baiklah. Aku juga gamau terlalu
buru-buru dan seakan memaksa kamu. Kapanpun kamu akan kasih jawabannya, akan aku
tunggu.”
Mereka melanjutkan dengan
brbincang-bincang dan mengenang masa lalu saat mereka mulai berpacaran kelas 2
SMA lalu hingga tragedi perjodohan Adelin dan Alm. Marsya. Tiba-tiba Adelin
teringat dengan kedua orang tua Deo. Apa kedua orang tuanya masih tidak
menyukai Adelin? Dia takut kejadian dulu kembali terulang. Saat kedua orang tua
Deo menolak Deo bersanding dengannya.
“De, gimana dengan orang tua kamu?”
“Orang tuaku? Ga usah khawatir.
Karena keuletan kamu dan kesuksesan kamu, kedua orang tuaku akhirnya setuju
kalau aku kembali dengan kamu. Om ku, bos kita selalu melaporkan perkembangan
dan prestasi-prestasi keberhasilan kamu. Ayahku juga merasa beruntung salah
satu perusahaannya bisa merekrut orang seperti kamu. Akhirnya mereka
mendukungku 100% untuk bersanding dengan kamu. Sekarang, tinggal keputusan dari
kamunya aja gimana.”
Adelin tersenyum lega. Semoga yang
tadi diomongkan Deo tentang kedua orangtuanya yang mulai setuju bila Deo
kembali dengan Adelin itu memang benar adanya. Malam semakin larut. Deo
mengantar Adelin pulang kerumahnya. Dalam perjalanan pulang, senyuman mereka
berdua terus mengembang dari bibir masig-masing. Malam ini malam yang sangat
indah dan sangat bahagia. Walau hati Deo masih merasa getir, takut jawaban yang
keluar dari mulut Adelin nanti jawaban yang tak ingin Deo dengar sama sekali
namun Deo merasa lega dan sangat bahagia.
***
Satu bulan berlalu, namun Adelin tak
kunjung memberikan jawaban tentang pinangan Deo bulan lalu. Adelin masih merasa
bimbang dan ragu.
“Bu, menurut ibu gimana dengan
pinangan Deo? Aku bingung.”
“Bingung gimana lagi toh, ndo?”
Adelin hanya terdiam sambil menatap kotak
cincin yang diberikan Deo bulan lalu.
“Ndo, apa kamu tidak bisa membaca pertanda
yang Tuhan berikan tentang semua ini? 6 tahun lamanya kalian terpisah, Deo
menikah dengan wanita lain dan kamu meneruskan study kamu ke Prancis.
Tapi setelah 2 tahun pernikahan Deo dengan istrinya, Tuhan mengambil istriya
lebih dulu kembali kepangkuan Ilahi. Dan saat kamu kembali ke Indnesia, kamu kembali
dipertemukan dengan Deo di satu perusahaan yang sama. Wallahualam, entah ini merupakan tanda bahwa kalian berjodoh atau
bukan. Tapi, bukankah ini yang selama ini kamu harapkan, ndo? Bersanding dengan
Deo dalam satu pelaminan pernikahan suci? Kamu ingat ndo ucapan ibu dulu? Kalau
memang kalian berjodoh, tidak akan kemana.”
Adelin masih saja terdiam.
Fikirannya mulai liar memikirkan sesuatu tentang ucapan ibunya tadi. Benarkah
ini semua pertanda bahwa Adelin dan Deo memang ditakdirkan Tuhan untuk bersama?
Adelin langsung meraih handphonenya yang dia taruh di atas meja makan.
Jemarinya yang lentik mengarahkan kursor trackpadnya ke nomor Deo.
To:
Deo Hardian
De,
kamu sibuk ga? Aku tunggu di restauran yang biasa kita datengin ya. Sekarang
aku lagi mau otw kesana.
Deo yang siang itu hendak mencoba
memejamkan matanya menyadari handphonnya yang bergetar diatas meja lampu
samping tempat tidurnya. 1 Received
Message, Adelin Indah.
Deo
langsung bergegas ke kamar mandi dan mencuci mukanya. Setelah itu dia langsung
meraih kunci mobilnya di samping meja TV kamarnya dan langsung membawa mobilnya
meluncur ke tepat Adelin menunggu.
“Hey.” Sapa Deo.
“Hey.” Balas Adelin dengan senyuman
khasnya yang selalu menampilkan lekukan pada kedua pipinya.
“Udah lama? Dadakan banget, Del. Ada
apa?”
Adelin menyodorkan kotak cincin
warna biru yang diberikan Deo bulan lalu. Deo kaget. Entah apa maksud Adelin
mengebalikan cincin yang dia berikan saat dia melamar Adelin.
“Maaf, terlalu lama buat kamu
menunggu jawaban dari aku. Aku bingung.”
“Bingung?”
“Mungkin saat kamu melamarku bulan
lalu, aku rasa itu masih terlalu cepat. Baru beberapa minggu kita kembali
bertemu dan kamu lanngsung melamarku.”
“Tapi kita udah kenal lama kan? Dulu
kita juga punya hubungan, sangat lama. Aku tahu kamu, dan kamu tahu aku.”
“Iya memang. Kita udah lama saling
kenal. Kita juga pernah pacaran untuk waktu yang sangat lama. Tapi setelah itu
kita juga terpisah untuk waktu yang sangat lama. Aku...”
“Oke, aku ngerti maksud kamu. Jujur,
awal pernikahan aku dengan Alm. Marsya memang tidak aku dasari dengan cinta.
Tapi perlahan aku mulai merasa nyaman dan sayang sama istri aku. Tapi asal kamu
tahu, jauh dilubuk hati aku yang paling dalam, nama kamu selalu melekat, Del.
Perasaan sayang dan cintaku masih lbih besar untuk kamu.”
Keduanya terdiam cukup lama.
“Boleh aku kemakam istri mu, De? Aku
ingin bicara sesuatu dengannya.”
“Hm.. baiklah.”
Tak lama mereka beranjak mninggalkan
restauran tersebut dan langsung menuju makam istri Deo. Selama perjalanan
mereka berdua terdiam. Tidak ada yang mencoba untuk memulai pembicaraan hingga
sampai dimakam.
“Hai, aku datang. Kamu baik-baik aja
kan? Sya, kamu masih ingat dengan Adelin? Kami bertemu lagi. Dan sekarang Adelin
ada disini bersamaku. Dia mau bicara sesuatu sama kamu.” Ucap Deo.
“Hai, Sya. Aku Adelin. Dulu saat aku
mendengar dari mulut Deo langsung bahwa dia akan bersanding dengan mu di
pelaminan, rasanya sangat sangat memilukan. Terasa seperti teriris pisau. Tapi yasudahlah.
Demi kebahagian Deo, aku merelakannya. Maaf saat pernikahan kalian aku tidak
hadir. Bukan karena aku tidak ingin melihat kebahagiaan kalian, tapi kebetulan
pernikahan kalian bertepatan dengan keberangkatan aku ke Prancis. Dan keberangkataku tidak bisa ditunda. 6 tahun lamanya aku
merantau disana dan terpisah dari Deo, tapi akhirnya aku dipertemukan kembali
dengan Deo. Entah apakah ini pertanda dari Tuhan bahwa aku digariskan utuk
kembali dengan Deo. Aku tidak tahu. Sya, aku.. boleh aku menggantikan posisimu
sebagai pendamping hidup Deo?”
Deo terhentak kaget mendengar
pernyataan Adelin tadi.
“Del, ka.. kamu...”
“Aku mau jadi pendamping hidup kamu,
De.”
“Sssee.. se..serius?”
Adelin mengangguk yakin. Deo
langsung meraih kotak cincin dari dalam saku celana dan langsung memasangkan
cincin di jari manis tangan kanan Adelin. Hari ini benar benar hari yang sangat
membahagiakan bagi mereka berdua. 2 hati yang sempat lama terpisah, akhirnya
kini kembali dipersatukan. Memang benar kata pepatah, kalau memang jodoh tidak
akan kemana. Bagaimana pun rintangan dan halangan yang mereka lalui, namun jika
mereka memang digariskan untuk bersama tidak ada yang bisa menolaknya. Semoga
kebahagiaan mereka terus berkelanjutan.
---END---