Wanita paruh baya itu melihat Hanun,
gadis semata wayangnya yang sedari tadi berdiri kaku di hadapan cermin yang
menggantung santai di dinding. Hanun seolah sedang berinteraksi dengan cermin
tersebut. Tatapan matanya tajam, raut mukanya memperlihatkan ketegangan. Dia
sangat prihatin dengan apa yang sedang terjadi dengan gadisnya.
"Inikah diriku?" tanya
Hanun pada cermin yang terlihat agak sedikit kusam dengan bercak coklat di pinggir kiri bagian bawahnya.
"Atau kau mengelabui
bayanganku? Kau memanipulasinya?" tanyanya lagi kali ini dengan nada agak
sedikit geram, sorot matanya bagaikan elang yang siap menerkam mangsanya.
"Cermin sialan! Kenapa kau
menampakan bayangan yang bukan diriku dihadapanku! Beraninya!" ucapnya
semakin geram.
Dia seolah dibuat frustasi dengan
bayangan yang ada di hadapannya itu. Dia tak yakin dengan sosok bayangan yang
ada di dalam cermin tersebut. Dirinya kah?
"Tak mungkin aku, bukan? Lihat!
Wajahnya layu, sorot matanya sayu. Tak ada sedikit semangat yang terpancar dari
wajahnya. Muram. Sendu. Itu pasti bukan diriku kan, cermin!?" Hanun
kembali bertanya untuk kesekian kalinya, kali ini dengan nada yang berapi-api,
dan agak sedikit jijik.
"Tak ada gunanya aku bertanya!
Cermin sialan! Lancang sekali memperlihatkan bayangan lain selain diriku!"
Lirih Hanun. Dia menyerah untuk bertanya. Kepalanya tertunduk dan pikirannya
tenggelam dalam risau dan kembali hanyut dalam kesedihannya. Seketika...
"Aku tidak memanipulasinya. Aku
tidak mengelabuimu. Tataplah aku sekali lagi dan lihat! Bayangan sendu, layu,
dan sayu itu memang dirimu! Dirimu, Hanun. Lihatlah dengan seksama. Kau tak
bergairah. Kau bagaikan bunga yang terlalu lama diterpa terik mentari, layu dan
hampir mati. Menyedihkan. Rambutmu lusuh dan kusam, kulitmu mengerikan. Tak
menarik sama sekali, bahkan mungkin kau menjijikan ntuk sekedar dilihat,"
jawab sang cermin
"Kau menipuku! Bayangan itu
bukan diriku!" bantahnya.
"Aku tak pernah menipu siapapun
yang berdiri dihadapanku. Kau yang terlalu angkuh untuk mengakui betapa
terpuruknya dirimu sekarang. Tak inginkah kau bangkit? Dan kembali ke sosok dirimu
seperti dahulu? Kini kau benar benar sangat terlihat menyedihkan, Hanun,"
Benar. Setahun sudah Hanun
membiarkan dirinya jatuh dalam keterpurukan. Setelah dia harus dihadapi dengan
kenyataan tentang calon pendamping hidupnya telah pergi jauh meninggalkannya.
Jauh dan tak kembali.
Sore itu, gadis semata wayangnya sedang
menanti Bagas datang untuk membawakanya buket mawar merah favoritenya dan
sepasang cincin platina yang berukir nama keduanya yang rencananya akan mereka
kenakan di jari manis mereka saat pernikahan. Namun naas, sore itu hujan, dan
jalanan sangat licin. Tiba-tiba Bagas dikejutkan dengan sosok anak kecil yang
berlari menyebrangi jalan yang dia lalui, lelaki itu membanting setir mencoba
menghindar. Namun sial, dia tak mampu mengendalikan laju mobilnya yang saat itu
melaju dengan kecepatan 100km/jam, mobilnya oleng hingga akhirnya menabrak
pembatas jalan dan membuat dirinya terpental dan terguling bersama dengan mobil
yang dia kendarai saat itu. Hancur lebur. Dan nyawanya hilang seketika di
tempat kejadian.
Di teras rumahnya, Hanun masih setia
menanti. Hingga senja telah berpulang berganti petang, namun Bagas, lelaki yang
dinantinya tak kunjung datang. Hanun berkali-kali mencoba menghubunginya, namun
berkali kali juga selalu tersambung dengan suara ramah dari operator yang
memintanya kembali menghubungi nomer tersebut beberapa saat lagi. Rasa cemas
terus menari-nari dalam benaknya. Dia mencoba menghubungi kediaman Bagas namun
asisten rumah tangga keluarga lelakinya itu bilang Bagas belum pulang sejak
sore tadi. Namun selang waktu yang tak lama, akhirnya kehawatirannya terjawab
sudah dengan informasi yang diberikan calon mertuanya tentang keberadaan dan
keadaan Bagas saat ini. Hanun seolah tak percaya dengan kabar yang baru saja
diterimanya. Hanun berteriak memecah keheningan malam, tangisnya menggelegar
dan mengoyak petang.
Dengan tergopoh wanita paruh baya itu berlari
menuju Hanun yang meracau tak menentu saat itu, dia bertanya namun tak ada
jawaban darinya. Wanita itu melihat layar handphone anaknya yang masih
tersambung dengan sang calon mertua. Dia segera mengambil alih dari genggaman
gadisnya dan terjawab sudah akhirya tentang apa yang membuat gadisnya histeris
sepert ini. Wanita paruh baya itu memeluk tubuh mungil Hanun erat mencoba
menenangkan dan meredakan tangisannya.
Esok hari seharusnya menjadi hari
yang penuh diselimuti kebahagiaan. Pasalnya, hari itu adalah hari dimana Hanun
harus duduk di samping Bagas yang akan mengucapkan Ijab Qabul dan memasangkan cincin platina yang berukir nama
keduanya di jari manisnya di depan khalayak. Dan hari itu, Hanun dan Bagas sah
menjadi suami-isteri. Namun kabut dukalah yang menaungi hari itu. Isak tangis
dan serangkaian doa menggema di pemakaman umum dimana Bagas di kebumikan.
Tangis gadis itu semakin tumpah ruah kala jasad Bagas saat itu memasuki tempat
peristirahatan terakhirnya. Dia tak mampu membendung kesedihan dan kesakitan
yang sangat mendera dirinya. Tubuhnya lemah dan terjatuh.
Semenjak saat itulah Hanun
membiarkan dirinya terpuruk dan terus terpuruk hingga terjadi perdebatan sengit
antara dirinya dengan cermin yang menggantung di dinding kamarnya. Wanita paruh baya yang
sedari tadi terus memandang sedih Hanun tak tahu lagi harus berbuat apa untuk
mengeluarkan gadisnya dalam keterpurukan. Berbagai upaya telah dilalui namun
selalu nihil.
“Kau tahu, betapa menyedihkan dan
menjijikannya dirimu saat ini? Tataplah aku, lihatlah bayangan yang ada didalamnya.
Bayangan layu dirimu yang semakin terpuruk dalam kesedihan dan seolah enggan
berusaha untuk bebas darinya. Itu dirimu, itu adalah bayangan dirimu yang
menyedihkan” saut sang cermin.
Hanun kembali menundukan kepalanya
beberapa saat kemudian kembali menatap cermin yang ada dihadapannya.
“Benarkah itu? Benarkah ini diriku
yang menyedihkan? Layu, sayu, tak bergairah, tak menarik. Benarkah? Bukan! Ini
bukan diriku! Bukan diriku! Cermin sialan!” teriak Hanun sambil melemparkan
bantal kearah cermin tersebut bertubi-tubi.
“Bangkitlah. Tataplah masa depanmu.
Kembaliah menjadi gadis seperti dulu. Kau gadis cantik, penuh pesona dan
mempunyai gairah asa yang tinggi. Sedangkan lihat dirimu yang sekarang? Jika
kau terus seperti ini, diapun tak akan pernah tenang disana. Bangkitlah!”
Teriakannya pecah, air matanya
merembes deras membasahi pipinya yang kian hari semakin tirus. Wanita paruh
baya yang sedari tadi menatapnya dari pintu segera berlari kearahnya dan
memeluk erat tubuh mungil gadisnya. Tersirat raut kepanikan dari wajah wanita
paruh baya itu. Dia terus memeluknya erat dan membelai rambut kusam Hanun
berusaha agar tangisnya reda.
“Maafkan aku, maafkan aku, Ibu.
Maafkan aku. Dia pasti tak tenang disana karena diriku yang terus menerus
terpuruk. Bantu aku, Bu. Bantu aku beranjak dari kesedihan ini dan menapaki
masa depan ku. Aku ingin kembali menjadi diriku seperti dulu, bu. Aku tak ingin
membuatnya khawatir dengan diriku disana. Aku ingin dia tenang disana, Bu. Bantu
aku.” Rintih Hanun dalam pelukan Ibunya. Senyum mengembang dari kedua sudut
bibir wanita paruh baya ini dia merasa sangat lega dan bahagia bahwa akhirnya
gadis semata wayangnya ingin terlepas dari keterpurukan dan bangkit dari semua
ini. Dalam hatinya tak henti-hentinya ia mengucapkan rasa syukur. Keduanya
semakin mengeeratkan pelukan dan hanyut dalam suasana haru yang saat itu
menyelimuti keinginan Hanun yang ingin terlepas dari belenggu keterpurukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar